Penyelesaian konflik pertanahan sebaiknya dilakukan melalui lembaga independen bukan melalui jalur pengadilan. Sebab umumnya, dalam penyelesaian sengketa, pengadilan tidak berpihak kepada masyarakat.
Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Pertanahan Makdir Ismail di sela-sela Diskusi Publik, di Gedung DPD, Jakarta, Jum’at (8/6).
"Dibutuhkan lembaga baru untuk penyelesaian konflik tanah, penyelesaian konflik tanah bukan melalui pengadilan, tapi ada lembaga tersendiri yang menyelesaikan permasalahan, " ujarnya.
Menurutnya, lembaga independen penyelesaian persengketaan tanah itu hendaknya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana lembaga itu menyelesaikan konflik sebelum masuk ke pengadilan.
Lebih lanjut Makdir menegaskan, selama ini kasus sengketa pertanahan terjadi sebagai akibat diterbitkanya sertifikat ganda, padahal Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga yang mengurusi sertifikat kepemilikan tanah seharusnya bertanggung jawab dalam hal itu.
"Sering kali sertifikat itu terbit ganda, tapi hal ini biasa terjadi di masyarakat karena minim akses informasi tentang prosedur pengurusan sertifikat, "jelasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR Ferry Mursyidan Baldan menyatakan, kegagalan masyarakat untuk memperoleh hak atas tanahnya di pengadilan, disebabkan banyak persoalan yang terjadi diluar kekuatan mereka.
Ia mencontohkan, salah satunya barang bukti yang dimiliki oleh masyarakat tidak lengkap karena risalah kepemilikan sudah beralih kepihak lain, atau dipaksa menjual dengan harga rendah.
"Masyarakat tak pernah menang di pengadilan, banyak persoalan di luar kekuatan mereka, misalnya banyak barang bukti yang dimiliki masyarakat tidak lengkap sehingga tanah itu pindah tangan, " imbuhnya.(novel)