Pemuatan advertorial tentang pariwisata Israel pada rubrik perjalanan (Klasifikasi Iklan) harian KOMPAS dinilai sarat kepentingan mendukung negara zionis itu
"Halaman 44 yang paling tidak saya catat pada tiga edisi KOMPAS (6 September 07, 13 Sept 07 tentang Eilat, dan satu lagi tentang Kibbutz) bersama ini saya mengajukan protes keras atas pemuatan advertorial tersebut, " ujar pengamat hukum Universitas Indonesia (UI)Heru Susetyo.
Menurutnya, kebebasan berpendapat boleh, tapi, hak mayoritas umat Islam jangan diabaikan. "Saya menghargai hak setiap orang atas kebebasan berekspresi (freedom of expression) melalui media massa, sayapun menghargai hak setiap orang untuk berpergian ke manapun ia suka (freedom of movement), namun saya harap KOMPAS juga menghargai sikap politik, politik luar negeri, dan hak bangsa dan negara Indonesia untuk tidak mengakui eksistensi negara Israel, " paparnya.
Sejak berdirinya negara Israel sejak tahun 1948, tegasnya, Indonesia tidak pernah mengakui eksistensi negara Israel secara yuridis, formal, maupun politis, pun kini pada pemerintahan Presiden SBY.
"Dasar utama penolakan ini adalah berdirinya negara Israel terjadi melalui penjajahan dan kekerasan yang menyejarah dan melegenda dengan mengorbankan hak bangsa Palestina untuk hidup bebas dari penjajahan dan kekerasan., "
Sikap anti penjajahan bangsa dan Negara Indonesia terefleksi secara jelas dalam alinea pertama Pembukaan UUD 45, juga dalam politik luar negeri Bebas Aktif Negara Indonesia. Salah satu implementasi sikap tersebut adalah dengan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, negara yang berdiri di atas darah dan air mata bangsa Palestina (dan juga Lebanon).
Pemuatan advertorial pariwisata Israel pada tiga edisi KOMPAS adalah suatu ‘pengakuan diam-diam’ terhadap Israel. Secara diplomatik dan praktek konsuler, inipun mengherankan, karena bagaimana bisa masyarakat Indonesia mengunjungi Israel ketika Israel tidak memiliki perwakilan di Indonesia? Bagaimana calon turis Indonesia mendapatkan visa Israel? Apakah mereka harus ke negara ketiga dahulu yang memiliki Perwakilan Israel? Maka secara tidak langsung advertorial tersebut mengajarkan turis Indonesia untuk menjadi ‘penyelundup visa. ”
"Saya berharap, KOMPAS lebih sensitif dan lebih tanggap terhadap isu ini. Janganlah membuat cedera hati sebagian rakyat Indonesia yang anti kekerasan dan penjajahan di Asia Barat dan di semua penjuru bumi. Apalagi KOMPAS adalah media publik yang selama ini cukup terpercaya dan dikenal cukup hati-hati dalam pemberitaan, " tandas Heru. (rz/dina)