Dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan di Jakarta siang tadi, anggota Komnas HAM, Dr. Saharuddin Daming menyatakan bahwa polisi dalam menangani kasus terorisme sudah melakukan pelanggaran HAM berat.
"Kasus-kasus terorisme yang terjadi mulai dari Jatiasih, Temanggung, dan penangkapan terhadap dai Jamaah Tabligh yang dilakukan polisi, sudah tergolong pelanggaran HAM berat. Terlebih lagi soal stigma negatif terhadap orang berjubah, jenggot, dan dakwah," ujar anggota komnas HAM ini tegas.
Ia menambahkan, phobia pasca suatu peristiwa yang tidak mengenakkan seperti peledakan bom bisa dianggap wajar. Tapi, jika phobia direkayasa sehingga orang banyak menjadi ikut phobia, ini merupakan pelanggaran hak azazi manusia.
Khusus kasus penembakan polisi terhadap dugaan pelaku teror di Jatiasih dan Temanggung, masih menurut Dr Daming, sudah tergolong ekstra yudisial killing yang bisa dikategorikan pelanggaran HAM berat.
"Saya melihat tidak adanya kemajuan operasi intelijen yang dilakukan polisi terhadap kasus-kasus terorisme sejak tahun 2002. Seharusnya polisi bisa lebih profesional. Bagaimana mungkin sekitar 600 polisi melakukan pengepungan dan pembantaian terhadap satu orang yang belum jelas status hukumnya," papar Daming bersemangat.
Daming mengaku telah menyurati Kapolri dan memanggilnya ke komnas HAM untuk dimintai keterangan. Sayangnya, posisi Komnas HAM tidak sekuat Densus 88 yang bisa memaksa orang untuk datang. "Undang-undang memang tidak memberikan kekuatan kepada Komnas HAM untuk melakukan pemaksaan, kecuali adanya keputusan pengadilan. Dan selalu saja, pihak pengadilan akan tidak menggubris surat yang disampaikan komnas HAM untuk mendapatkan penguatan hukum," masih menurut Daming Saharuddin.
Ketua Tim Advokasi FUI, Munarman SH yang juga sebagai pembicara dalam forum tersebut menambahkan, semua tersangka yang sedang diburu atau yang sudah ditembak polisi masih belum sampai pada proses penyidikan. "Dan anehnya, penangkapan atau pernyataan DPO terhadap tersangka yang diumumkan polisi tidak melalui prosedur yang benar," tambah Munarman.
Ia mencontohkan kasus perintah penangkapan terhadap Muhammad Jibril yang disangka polisi sebagai pengatur jaringan pendanaan dari luar negeri terhadap aksi terorisme di Indonesia, tidak melalui surat penangkapan. "Pemberitahuannya hanya lewat telepon dari seorang petinggi Polri kepada ayah tersangka, Abu Jibril," ujar Munarman.
Begitu pun soal penangkapan terhadap 18 anggota Jamaah Tabligh asal Philipina yang sedang berdakwah di Jawa Tengah, sama sekali tidak mempunyai alasan yang kuat. "Berdakwah itu kegiatan keagamaan yang tidak boleh disangkakan sebagai pelanggaran hukum, walaupun dengan alasan izin berupa visa," ujar advokat yang giat membela aktivis Islam ini.
Salah satu petinggi Humas Polri yang turut hadir sebagai pembicara dalam acara diskusi tersebut menyangkal semua sinyalemen tersebut. "Semua itu karena polisi ingin bertindak sesuai hukum yang berlaku," ujar Kombes Drs. Zulkarnain yang menjabat sebagai Kabid Mitra Divhumas Mabes Polri.
Sayangnya, Zulkarnain tidak secara transparan menjelaskan tentang alasan tindakan polisi sehingga terjadinya pelanggaran HAM yang disampaikan Komnas HAM tersebut. Lebih tidak jelas lagi jawaban tentang pertanyaan salah seorang peserta diskusi yang menanyakan tentang terorisme sebagai operasi intelijen seperti yang pernah terjadi di tahun 80-an yang ternyata dilakukan oleh Ali Murtopo. "Kalau boleh saya bersumpah demi Allah, kalau itu bukan operasi intelijen," ucap Zulkarnain yang dicemooh sebagian peserta diskusi. Mnh
foto: muslimdaily