Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta kepolisian tidak bertindak diskriminatif dan bersikap represif dalam menyikapi pengikut aliran menyimpang seperti Al-Qiyadah Al-Islamiyah.
"Mereka juga warga negara yang wajib dijamin hak-haknya, " kata Wakil Ketua II Bidang Eksternal Komnas HAM Hesti Armiwulan, di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (8/11).
Karenanya, Menurut Hesti, persoalan aliran kepercayaan, juga jelas diatur dalam UUD 1945, seperti pada pasal 28 e ayat 1 soal kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, dan ayat 2 yang berbunyi setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya. Begitu juga dalam pasal 29 ayat 2 juga dikatakan, negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
"Selain dalam institusi juga dijamin dalam instrumen HAM internasional, covenan international sipil-politik yang telah diratifikasi melalui UU 12/2007, " jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Hesti juga mengklarifikasi pernyataan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim sehubungan dengan penanganan terhadap aliran pimpinan Ahmad Musaddeq itu. Ia menyatakan, Ifdhal tak pernah menyampaikan kalimat "Apa yang dilakukan polisi sudah tepat" dalam pernyataannya terkait penanganan kasus Al-Qiyadah, tetapi Ketua hanya menyampaikan hak asasi itu bersifat mutlak dalam menangani setiap permasalahan.
Sebelumnya, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia HM Ichwan Sam berharap agar kalangan aktivis HAM tidak menyimpan definisi kebebasan agama, sebagaimana diatur dalam prinsip-prinsip HAM Internasional di dalam laci kerja mereka.
Ia menegaskan, dalam prisnsip HAM secara tegas diatur bahwa kebebasan beragama jangan sampai mengganggu ketertiban umum, karena itu mengakaitkan kebebasan beragama dengan aliran sesat yang muncul belakangan ini sangatlah tidak tepat.
"Jangan berteriak-teriak sedikit-sedikit HAM, ketika MUI memfatwakan sebuah aliran sesat, karena mereka jelas-jelas mengganggu kemurnian ajaran agama, "tandasnya.(novel)