DPRRI menilai kinerja ekonomi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2006 secara umum masih mengalami penurunan. Hal ini ditandai dengan, antara lain, pertumbuhan ekonomi masih stagnan, daya beli masyakarat menurun, pengangguran dan kemiskinan meningkat.
Menurut Ketua Komisi VI DPR Didik J Rachbini, kentalnya birokrasi pemerintah menyebabkan rendahnya realisasi belanja negara dan daya serap yang juga rendah karena inefisiensi pengelolaan anggaran merupakan salah satu sebab utama. "Realisasi penerimaan negara juga rendah," ujarnya di Jakarta, Kamis (14/12).
Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah dan Bank Indonesia (BI) agar ke depan, benar-benar berpihak untuk menggerakkan sektor riil. Implikasinya, sektor riil mandeg dan pengangguran meningkat. "Padahal jika Rp 200 triliun itu disalurkan ke masyarakat dampaknya luar biasa. Ini artinya, perbankan nasional masih nyusu ke APBN dan SBI atau praktis tidak berbuat apa-apa," katanya.
Didik mencatat, akibat yang terlihat adalah investasi trendnya menurun yakni Rp196,3 triliun pada 2005 dan tahun ini hingga Oktober 2006 hanya Rp 57 triliun. Kemiskinan trendnya meningkat dari 35,1 juta pada 2005 meningkat menjadi 39,5 juta pada tahun ini.
Walupun demikian, politisi PAN ini mengakui kondisi makro ekonomi cukup baik karena inflasi relatif terkendali yakni dua angka pada tahun lalu, karena kenaikan BBM menjadi satu angka dan relatif rendah tahun ini. "Nilai tukar rupiah cukup baik. Jika tahun lalu rata-rata kurs rupiah per dolar AS Rp 9.700 dan hingga Desember ini Rp 9.000-an," tuturnya.
Sayangnya, tegas pengamat ekonomi Indef, stabilitas makro belum cukup berpengaruh terhadap sektor riil. "Buktinya fungsi intermediasi perbankan atau lending kreditnya ke sektor riil masih jauh dari harapan. Mereka masih lebih senang menyimpan di instrumen SBI hingga Rp 200 triliun dan BI harus menyediakan Rp 23 triliun untuk bunga," ucapnya. (dina)