Komisi I DPR RI mendesak aparat kepolisian dan Dewan Pers untuk menertibkan media-media yang berbau pornografi dan mistik yang beredar di masyarakat.
Alasanya, peredaran media pornografi dan mistik tersebut bisa mengakibatkan terjadinya degradasi moral, keresahan masyarakat dan penipuan. Selain itu, juga untuk menjaga nurani, profesionalisme, dan independensi pers Indonesia.
Oleh karena itu, Ketua Komisi I DPR RI Theo L. Sambuaga mendesak aparat kepolisian dan Dewan Pers memproses media-media tersebut termasuk Playboy secara hukum. Hal itu mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi I DPR RI dengan Dewan Pers di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Rabu (19/7).
Selain itu, Komisi I DPR juga menyetujui segera diupayakan adanya UU Distribusi Media untuk mencegah terjadinya distribusi media yang tidak bertanggung jawab.
Tapi, Dewan Pers menyatakan tidak bisa berbuat apa- apa, karena hal itu sudah menjadi tugas aparat kepolisian. Karena itu, kata anggota Dewan Pers Leo Batubara, pihaknya mendesak aparat kepolisian menertibkan majalah Playboy edisi ketiga, yang sudah beredar di pasaran karena telah menyalahi kode etik jurnalistik
“Aparat kepolisian bisa memeriksa majalah Playboy edisi ketiga itu, karena sudah bisa dkategorikan melanggar UU Pers dan kode etik jurnalistik, sehingga majalah itu harus diperiksa seperti yang dilakukan pada edisi pertama dan kedua," ujar dia.
Leo menilai, majalah Playboy Indonesia bisa digolongkan sebagai produk yang melanggar UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan kode etik jurnalistik.
Ia menambahkan, distribusi majalah edisi pertama yang terbit April 2006 tidak sesuai dengan segmentasi yang disebutkan dalam sampul depan majalah tersebut yaitu sebagai majalah hiburan untuk pria dewasa, maka itu berarti telah melanggar kode etik jurnalistik dalam konsep perlindungan anak dan remaja. (dina)