Indonesia sebaiknya menolak rencana pemberian sanksi baru DK PBB terhadap Iran, terkait isu pengembangan energi nuklir. Rancangan resolusi ketiga tentang sanksi terhadap Iran akan diputuskan melalui pemungutan suara oleh 15 anggota Dewan Keamanan PBB.
"Amunisi baru berupa laporan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) bukanlah justifikasi untuk menambah kedzaliman baru bagi Iran, " tandas Anggota Komisi I DPR Mutammimul Ula menanggapi rencana Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa Bangsa menggelar pemungutan suara tanggal 29 Februari 200 ini (Sabtu, waktu New York, Amerika Serikat) untuk membicarakan resolusi baru tersebut bagi Iran., di Jakarta, Jumat(29/2).
Menurutnya, berdasarkan fakta yang ada Iran telah bersikap transparan, dan sejumlah kecurigaan atas aktivitas program nuklirnya telah terjawab. Dari hasil penyelidikan badan intelijen AS dan IAEA sendiri menunjukkan, bahwa Iran tidak memproduksi senjata pemusnah massal serta tidak ditemukan penyimpangan yang mengarah kepada kepentingan militer.
Pertimbangan lain, lanjut Tammin, penambahan elemen sanksi baru ini yang berupa resolusi, hanya akan menimbulkan sikap kontraproduktif.
"Iran bukan tipe negara yang gampang menyerah, dan akan muncul ketegangan baru di kawasan Timur Tengah, " ujarnya.
Ia menyatakan, Indonesia memiliki posisi signifikan untuk menjadi mediator penyelesaian yang lebih adil, apalagi kini karena merupakan anggota tidak tetap DK PBB. Karena itu, Ia meminta agar Indonesia tidak ikut-ikutan pendapat negara besar, terutama AS dalam menentukan sikap terhadap isu Iran.
Tammin mengingatkan, Pemerintah harus juga belajar dari pengalaman tentang persetujuannya atas Resolusi 1747 DK PBB Tahun 2007 lalu, yang telah menimbulkan sentimen negatif di dalam negeri, terutama di DPR.(novel)