Eramuslim.com – Untuk membantu pengungkapan dan pembangunan kembali bangunan tempat ibadah, ruko, kios, dan tempat tinggal yang hangus akibat ulah teroris dari Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) di Tolikara, Papua, sebuah Tim Pencari Fakta (TPF) Selasa kemarin (21/7) diberangkatkan ke Pulau Cendrawasih itu. TPF yang dipimpin Fadlan Garamatan, terbang ke Papua bersama 7 anggota Tim dari berbagai latar belakang ilmu.
Jurubicara Komite Umat untuk Tolikara Papua (Komat Tolikara) Mustofa B. Nahrawardaya menyampaikan, sesuai rencana, sesampai di TKP, seluruh anggota TPF akan melakukan beberapa tugas berat diantaranya menyusun kronologi sesuai aslinya. Kenapa disebut kronologi sesuai aslinya, karena hingga hari ini, ada beberapa upaya dari pihak tertentu yang mencoba membelokkan arah opini kepada publik. Pembelokan opini ini jelas sangat merugikan karena fakta yang ada di lapangan menjadi kabur.
Mustofa menjelaskan, beberapa informasi yang simpangsiur akibat pembelokan opini itu diantaranya seputar keabsahan surat dari Gereja Injili Di Indonesia yang berisi larangan merayakan Iedul Fitri, Larangan Berlebaran dan Larangan mengenakan jilbab. Surat resmi yang dilengkapi tandatangan oleh Presiden GIDI Pdt Nayus Wenda dan Sekretarus GIDI Marthen Jingga itu, mulai dikabarkan sebagai dokumen illegal. Padahal, faktanya Polisi dan Bupati sudah menerima surat yang dimaksud. Bahkan, akibat surat super intoleran ini, kemudian memicu pembakaran Mesjid dan Ruko serta kios dan rumah tinggal. Pihak-pihak yang mengatakan surat edaran ini ilegal tentu saja berbohong dan ini akan dibuktikan nanti.
Selain itu, ada pihak lain yang juga mencoba membalik fakta, diantaranya bahwa baik tempat ibadah, ruko maupun kios yang ludes karena api, konon disebabkan oleh ketidak sengajaan. Padahal pihak GIDI, yang bekerjasama dengan Zionis-israel, pasti tahu salah satu strategi peperangan intelijen: Tembak ubin kena dinding. Artinya kita tidak menembak atau menyasar langsung ke sasaran, tapi menyasar ke target lewat perantara. Kios-kios kayu yang berdiri di sekeliling Masjid Baitul Muttaqin Toikara adalah ‘perantara’ yang empuk dan mudah dibakar, agar Masjid nantinya ikut kebakar. Tembak ubin kena dinding!
Yang lebih parah lagi, pihak Gereja kini mencoba menyalahkan Kepolisian dan aparat lainnya yang dianggap tidak mampu mengendalikan situasi sehingga aparat malah menembak anggota Gereja hingga tewas. Sebagai alibi, akibat tembakan itulah kemudian api kemarahan tersulut sehingga mengakibatkan terbakarnya Mesjid. Dengan kata lain, massa sebenarnya tidak ingin membakar Mesjid, namun api yang disulut massa ke kios, merembet ke Mesjid.
Padahal aparatur Polri/TNI pasti sudah terlatih dalam SOP atau Standar Operasi Prosedur dalam menembakkan peluru tajam. Adalah sangat konyol dan tidak masuk akal jika aparat Polri/TNI melakukan tembak di tempat terhadap orang-orang yang datang dengan damai. Jurus ngeles GIDI tentu hanya masuk dalam logika orang tidak waras.
“Selain itu, masih banyak informasi lain yang cenderung menyesatkan masyarakat dan mengadudomba antara Kepolisian, TNI dan masyarakat, sehingga jika dibiarkan maka ulah segelintir oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab itu sangat berpotensi menyulut kemarahan masyarakat yang lebih luas terhadap pihak Gereja Injili dan bahkan sangat berpotensi memperluas korban. Yang semula korban adalah dari pihak Mesjid, nantinya akan meluas ke pihak lain,” ujar Mustofa dalam rilisnya. (rz)