“Kulo sampek nate sanjang ten RT RW, pak kulo bade tanglet, nopo kulo niki gelandangan? Kok sampek mboten kedata, kulo sampe ngoten. trus disuwun KTP, tapi nggih mboten wonten kabar nopo-nopo. (Saya sampai pernah bilang ke RT RW, ‘Pak, saya mau tanya, apa saya ini gelandangan? kok sampai tidak didata?’ Lalu diminta, KTP, tapi ya begitu tidak ada kabar apa-apa),” ujanrnya.
Sumirah mengaku sedih ketika melihat tetangga dan warga lain mengantre bantuan dari pemerintah. Meskipun begitu Ia tetap bersyukur sebab masih diberi nikmat sehat.
“Milai corona, kulo mboten angsal nopo-nopo, sumpah Demi Allah, Nak. Mboten nate disenggol, kulo ningali tiyang-tiyang mendet beras kaleh duit, nelongso kulo nak (Mulai Corona, saya tidak dapat ‘bantuan’ apa-apa, sumpah demi Allah, Nak. Belum pernah juga disenggol ‘mendapat kabar’, saya lihat orang-orang ambil beras dan duit, hati saya menangis, Nak),” kata dia.
Untuk menyambung hidupnya, Sumirah mengaku hanya mengandalkan bantuan dari warga sekitar dan tetangga terdekat. Meski begitu, wanita yang belum dikaruniai buah hati dari pernikahannya itu mengaku bersyukur bisa hidup.
“Ben dinten diparingi tetanggi, sederek-sederek kiwo tengen sampun kados yugo kalih putu-putu kulo (Setiap hari dikasih tetangga, saudara-saudara kiri kanan sudah seperti anak dan cucu-cucu saya sendiri),”
Untuk membayar sewa kamar kos pun, ia mengaku menggantungkan uluran para dermawan yang berasal dari tetangga dan warga sekitar. Pun dengan pendapatannya berjualan makanan ringan, seperti keripik dan mi instan. “Saya kerja seadanya, tempatnya ngekos Rp 250.000 per bulan,” ujarnya.
Sebelum berdagang seperti saat ini di kamar kosnya sendiri, Sumirah sempat menjadi perawat anak dan tukang pijat di kampungnya.
“Sakderenge kulo momong lare-lare alit, sakmeniko sampun mboten kiat, sampun sepuh, kaleh mijet menawi wonten ingkang mados (sebelumnya saya merawat anak-anak kecil, sekarang sudah tidak kuat, sudah tua. Sama pijat juga kalau ada orang memanggil),” kata Sumirah.[suara]