Sumber hukum itu merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar utama untuk pengambilan hukum di dalam ajaran Islam.
Para ulama bersepakat, bahwa hanya ada 4 sumber utama dalam Islam, yang dijadikan pedoman untuk menentukan hukum yang berlaku bagi umat Islam yaitu Al Quran, Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
Selain dari 4 sumber tersebut di atas adalah batil, jika diyakini sebagai sumber utama untuk menentukan hukum yang berlaku bagi umat Islam.
Umat Islam tentu tidak dilarang mematuhi suatu aturan atau larangan yang berlaku di sebuah wilayah, semisal aturan norma kemasyarakatan dan kenegaraan, tapi itu hanya sebatas keharusan duniawi, dan aturan tersebut tidak berdosa andaikata dilanggar.
Norma kemasyarakatan dan kenegaraan itu hanya berlaku untuk kemashlahatan duniawi, seperti agar tidak bermusuhan dengan tetangga kanan kiri, atau agar tidak dipidanakan oleh negara jika melanggar terutama di depan publik. Namun, jika pelanggaran tersebut tidak diketahui oleh publik dan aparat, maka pelakunya tidak berdosa di hadapan Allah.
Tentu sangat berbeda jika yang dilanggar itu hukum Islam yang bersumber dari Al Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, maka para pelanggarnya akan mendapat sanksi di dunia ataupun di akhirat kelak, sesuai dengan jenis pelanggarannya, baik itu dilakukan di depan publik maupun hanya secara pribadi.
Di antara dalil terkait 4 sumber hukum yang disepakati oleh para ulama adalah hadits:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ ” كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ” . قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ . قَالَ ” فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ” قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ” فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَلاَ فِي كِتَابِ اللَّهِ ” قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ ” الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ ”
Bahwa Nabi SAW akan mengangkat shahabat Muadz bin Jabal menjadi qadhi (duta) di Yaman, lantas beliau SAW bertanya:
“Bagaimana engkau akan memutuskan jika diajukan perkara kepadamu dalam urusan hukum? Muadz menjawab, “Saya akan putuskan dengan kitab Allah.” Nabi SAW bertanya kembali, “Bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? “Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah, jawab Muadz. Nabi SAW bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muadz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan”. Maka Nabi SAW menepuk dadanya seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah.” (HR Abu Daud).
Untuk dalil bahwa Ijma (kesepakatan para ulama) itu sebagai sumber hukum antara lain ayat:
وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا
“Barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa, 115).
Adapun tentang Qiyas, Imam Syafi’i mengatakan dalam kitab Arrisalah, 477 sebagai berikut:
وكل ما نزل بمسلم ففيه حكم لازم وعليه اذا كان بعينه اتباعه واذا لم يكن فيه بعينه يطلب الدلالة على سبيل الحق بالاجتهاد والاجتهاد هو القياس.
“Setiap perkara yang terjadi pada seorang muslim pasti ada hukumnya, dan ia wajib mengikuti nash. Apabila tidak ada nashnya dicari dari permasalahannya (dilalah-nya) di atas jalan yang benar dengan ijtihad, dan ijtihad itu termasuk Qiyas.”
Selain 4 sumber hukum di atas, ada sumber lain yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu:
الاستحسان، والاستصلاح أوالمصالح المرسلة، والاستصحاب، والعرف، ومذهب الصحابي، وشرع من قبلنا، وسد الذرائع.
Istihsan, istishlah, almashalihur mursalah madzhab shahabat, ishtishab, ‘uruf, syariat nabi terdahulu, saddud dzara’ik, tentu saja yang berlaku di kalangan umat Islam.
Namun aturan yang berasal dari orang-orang di luar Islam, semisal aturan yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau semisal Persetujuan Jenewa (Geneva Accord) dan sebagainya, maka bukan sumber hukum bagi umat Islam, sehingga pihak-pihak mana saja yang melanggarnya termasuk warga NU, maka TIDAK BERDOSA sama sekali dalam pandangan Islam. (Sumber: Faktakini)