KH Abdul Wahid Alwy: Untuk Ahok, Susan, dan Rihanna , Amal Mereka Bagai Debu

Ustadz Wahid Alwy (berpeci)Walau jabatannya terus diprotes warga Kelurahan Lenteng Agung (LA), Jakarta Selatan, Lurah Susan Jasmine tetap berupaya mendekatkan diri dengan warganya. Di antaranya, pada Idul Adha yang baru lalu, ia pun ikut ‘’berkurban’’ 1 ekor sapi limosin dan 1 ekor kambing buat warga LA.

“Sapi yang untuk Kelurahan Lenteng Agung itu berupa amanah dari Yayasan Denny JA melalui saya sebagai Lurah Lenteng Agung,” ujar Susan sebagaimana dikutip detikcom, Rabu (16/10/2013).

Denny JA, menurut kader Ulama-Intelektual Indonesia Budi Handrianto dalam bukunya 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia (Hujjah Press, 2007), termasuk salah satu tokoh pengasong liberalisme keagamaan di Tanah Air. Denny yang pernah dikritik tajam pemikirannya oleh Pembina Dewan Dakwah Allahyarham HA Sumargono,  menyatakan antara lain kaum liberal perlu merumuskan sendiri doktrin teologis Islam liberal.

Lurah Susan juga ikut serta dalam Jakarta Night Religius Festival di malam takbiran Idul Adha, Senin  (14/10). Saat itu, ia mengerahkan 33 orang warganya, mengarak dan menabuh bedug dari Bundaran HI ke Monas.

“Rombongan aku 33 orang ada 4 bedug. Kita sama wakil lurah, kasie kesmas, dan Pak RT 02/04. Kita keluarin semuanya, all out, anak-anaknya, truk dan hiasan bedug,” ujar Susan yang tampil dengan gamis dan kerudung saat merayakan malam takbiran itu.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, selama ini selalu membela Lurah Susan.  Bahkan meskipun hasil lelang jabatan camat dan lurah di DKI Jakarta 60% tidak tepat, ia tetap bergeming dengan kebijakan yang memunculkan fenomena Lurah Susan itu.

Tak mau ketinggalan dengan bawahannya, Ahok juga menampilkan pendekatannya kepada warga Muslim. Melalui website pribadinya www.ahok.org, Wagub membeberkan gajinya, yang sebagian dipotong untuk pos pengeluaran Zakat, Infaq dan Sedekah sebesar 2,5 persen dari penghasilan setelah dipotong pajak penghasilan.

Di web itu terpampang bukti tanda terima Intensif Pemungutan Pajak Daerah sejak bulan Oktober hingga 2012. Di mana dari pendapatannya Ahok mendapat potongan sebesar Rp 1.460.412 untuk Zakat, Infaq dan Sedekah (ZIS).

Potongan untuk ZIS itu sudah berjalan selama tiga bulan. Selain potongan ZIS, ada juga potongan Kesra, Simpanan Wajib Koperasi, Pinjaman Koperasi, Asuransi JS+potongan Korpri dan potongan lain-lain. Selain ZIS, semuanya potongan kosong.

Contohnya pada bulan Oktober, penerimaan Ahok adalah Rp 68.725.280. Kemudian dipotong PPH 21, 5 persen sebesar Rp 10.308.729. Ditambah potongan ZIS Rp 1.460.412, maka penerimaan bersih Ahok menjadi Rp 56.956.076. Jumlah yang sama juga diterima Ahok untuk bulan November.

Sedangkan untuk bulan Desember, penerimaan Ahok Rp 68.001.856. Kemudian dipotong PPH 21, 5 persen sebesar Rp 10.200.278. Ditambah potong ZIS Rp 1.445.040, maka penerimaan bersih Ahok menjadi Rp 56.356.538.

Di pentas dunia, sama seperti ulah Lurah Susan, penyanyi porno Rihanna berpose dengan berkerudung dan terusan (jumpsuit) hitam. Foto di halaman Masjid Besar Sheikh Zayed di Abu Dhabi, Uni Emirate Arab, itu ia unggah pada Jumat, 18 Oktober lalu, di media sosial Instagram.

Banyak peselancar dunia maya yang mengecam penyanyi Umbrella itu. Ia dinilai tidak menghormati rumah ibadah.

 

Politisasi Agama

Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Jakarta, Hendardi, dalam tulisannya berjudul Demokrasi dan Politisasi Agama di Kompas (3/7/2009), menyatakan, politisasi agama tampak dalam seputar kesalehan personal kandidat, performa pakaian para istri kandidat, maupun pilihan agama dan orientasi keberagamaan seorang kandidat pesta demokrasi.

Politisasi agama, tulis Hendardi, bekerja dengan mengeksploitasi hal-hal yang merupakan identitas dan domain personal ke arena publik. Eksploitasi itu untuk dua kepentingan: menundukkan lawan atau untuk menghimpun dukungan baru.

Jika politisasi diperagakan untuk menundukkan lawan politik, bisa diduga pemicu politisasi dari seberang seorang kandidat. Sementara jika dimaksudkan untuk menghimpun dukungan baru dan memperluas konstituensi, politisasi agama sengaja didesain oleh diri sendiri.

Fenomena semacam itu, menurut Koordinator FSAI Yogyakarta Azis Anwar Fachrudin (Suara Karya, 05/07/2013), membawa sejumlah imbas negatif.

Pertama, fetisisme agama. Fetisisme adalah fenomena budaya populer. Ia menggunakan berbagai pesona dan daya pikat (charm) untuk memengaruhi bahkan mengendalikan orang-orang atau massa.

Kedua, dekonstruksi nilai kesucian dari simbol itu. Simbol yang menjadi tameng kesucian untuk mengiba rasa simpati justru membuat publik muak. Simbol yang suci itu bisa mengalami desakralisasi. Dekonstruksi nilai kesucian itu tak ubahnya sama dengan ketika simbol-simbol religi memasuki ruang komodifikasi agama, terutama saat bertepatan dengan momen-momen tertentu (Ramadhan, Idul Fitri, Natal, dan lain-lain).

Ketiga, banalitas agama. Politisasi simbol agama telah menciptakan suatu konsekuensi kultural. Yakni, terbaurnya ‘budaya luhur’ dengan ‘budaya rendah’. Akibatnya, agama menjadi sesuatu yang murah.

 

Bagai Debu

Fenomena politisasi Islam seperti ditunjukkan Lurah Susan, Wagub Ahok, dan Rihanna,  menurut Wakil Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyyah Indonesia KH Abdul Wahid Alwy, merupakan salah satu masalah cukup serius yang berkaitan dengan aqidah; Yaitu, menimbulkan misleading (salah paham) status seputar kedudukan amal baik yang dilakukan oleh orang kafir.

‘’Masalah ini sering kali muncul dalam pengajian-pengajian di berbagai tempat. Masalah ini, harus dicermati dengan baik karena kalau tidak, akan sangat membahayakan umat, apalagi bagi mereka yang kemampuan keislamannya masih dalam proses kematangan,’’ tutur Ustadz Alwy.

Ia merasa miris, karena ada penceramah yang berpendapat, siapapun orangnya, apapun agamanya, termasuk juga di dalamnya orang tidak beragama, kalau dia berbuat amal baik pasti mendapat amal baik di akhirat dari Allah SWT, dan orang itu berhak mendapatkan surga.

Pendapat ini biasanya dilontarkan oleh orang yang menamakan dirinya pembaharu yang mengagung-ngagungkan otak belaka. Padahal kalau diurut ke belakang, bahwa apa yang diungkapkan itu sama sekali bukan hal yang baru tapi sudah diungkapkan oleh filosof Yunani yang bernama Socrates yang selalu mengagungkan otak manusia diatas segala-galanya.

Cara pandang seperti ini, apalagi kalau itu berkaitan dengan aqidah, sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ajaran Islam memang tidak melarang manusia menggunakan otaknya didalam memahami agama. Akan tetapi, bagi orang yang beriman, otak itu tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri, ia harus dibimbing dengan wahyu, sehingga dengan cara itu seseorang insya Allah akan terbebas dari hawa nafsunya.

Kemudian juga, semata-semata otak saja yang dijadikan pegangan, maka itu pun akan mendatangkan ketidakpastian dan kebingungan manusia itu sendiri, didalam menentukan otak siapa yang layak dijadikan panduan. Apakah otaknya orang Inggris, Amerika, orang Afrika dan lain sebagainya.

Oleh karena itu sebagai orang yang beriman, tidak ada pilihan lain, kecuali dalam memahami sesuatu yang berkaitan dengan masalah aqidah, hendaknya kembali kepada wahyu dari Allah ta’ala dan Sunah Rasulullah SAW.

Berkenan dengan masalah di atas, Al-Qur’an dengan jelas, tegas dan tuntas menjawabnya diantaranya dalam surat al-furqan ayat 23, Allah Ta’ala menegaskan, ”Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan (orang kafir), lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”  

Selanjutnya dalam surat An-Nur ayat 39, Allah Ta’ala juga menegaskan, “Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun . . . .”

Begitu juga dalam surat Ibrahim ayat 18, Allah ta’ala mengabarkan bahwa orang-orang kafir kepada tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.

Alwy juga prihatin, bersamaan dengan itu tampak juga adanya kesengajaan dari mereka menafsirkan ayat al-Qur’an dengan tidak menggunakan metedologi baku sebagaimana yang dilakukan para salafussaleh. Misalnya dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 62 mengenai kedudukan alam Yahudi, Nasrani, dan Shobi’i akan mendapat pahala dari Allah sejauh mereka beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh.

Pendapat ini jelas tidak dipertanggungjawabkan karena dalam memahami satu ayat di dalam al-Qur’an harus merujuk kepada ayat yang lain. Misalnya saja, dalam surat al-baqarah ayat 62, kata beriman harus dirujuk ke ayat lain, tidak bisa menggunakan ayat itu semata-mata tanpa melihat ayat lain.

Adapun rujukan ayat tentang orang beriman ayatnya bertebaran di banyak surah di dalam al-Qur’an. Di antaranya di dalam surat al-anfal  ayat 2 s/d 4, Allah menegaskan ciri-ciri orang yang beriman. Pertama, apabila disebut nama Allah Ta’ala bergetar hatinya; Kedua, apabila dibacakan ayat-ayat Allah Ta’ala bertambahlah imannya. Ketiga, melaksanakan shalat. Keempat, menafkahkan hartanya dijalan Allah Ta’ala.

Pertanyaannya adalah apakah orang seperti Susan, Ahok, Rihanna dan yang lainnya bergetar hatinya ketika nama Allah di sebut? Bertambahkah iman mereka ketika dibacakan al-Qur’an? Sholatkah mereka?

Jawabannya bisa merujuk kepada pernyataan Wagub Ahok. “Jadi jangan ngomong agamalah, capek sudah saya ngomong agama. Jadi kita kerja sajalah. Silakan cap saya ini sekuler, kafir nomor satu, paling bejat. Ini saya udah kafir, sekuler lagi. Saya sudah muak bercerita soal agama, soal akhlak, kita buktikan perbuatan sekarang,” kata Ahok dalam sebuah Seminar di RS Husada Jakarta (news.liputan6.com, 19/2/2013).

Saat itu ia tampak emosi menanggapi interupsi seorang peserta seminar agar akhlak para pejabat DKI lebih diperhatikan lagi.

“Kalau saya ke gereja tiap minggu, itu urusan saya. Saya takut karena ada surga. Saya juga tidak tahu ada atau tidak surga itu, ya saya percaya saja,” pungkas Ahok, kali ini sembari tertawa.

Kemudian juga dalam ayat lain, misalnya dalam surat al-hujurat ayat 15, Allah Ta’ala juga menegaskan ciri-ciri orang yang beriman, yaitu yang beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasulnya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan merka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah Ta’ala, mereka itulah orang-orang yang benar-benar orang yang beriman.

Pertanyaannya lagi, apakah orang non-Islam itu beriman kepada Nabi Muhammad SAW?

Dari dalil-dalil di atas dapatlah dipastikan, bahwa pendapat yang mengatakan amal baik orang kafir itu ada nilainya kelak kemudian hari di sisi Allah SWT, jelas bertentangan dengan dalil Al-Qur’an, dan di saat yang sama akan membahayakan aqidah umat Islam.

‘’Untuk itu, berhati-hatilah,’’ imbau KH  Abdul Wahid Alwy. (nurbowo)