Ketum PBNU: Banyak Aset NU yang Hilang, Kemampuan Manajemen Minim

Tradisi lebih menonjolkan kepemimpinan kharismatik dan meninggalkan pentingnya membangun kemampuan manajemen yang baik, menjadi kritik terhadap gerakan warga Nahdlatul Ulama (NU). Kritikan itu disampaikan langsung oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi di sela-sela peresmian Gedung Perguruan Tinggi NU, Sekolah Tinggi Agama Islam NU (STAINU) Jakarta di Parung, Bogor.

"Itulah mengapa banyak aset NU, pesantren atau yang lain hilang setelah peralihan, ganti periode dari kyai pengelola lalu ke anaknya, ke keponakannya lalu tidak jelas, " ujarnya.

Hasyim mengakui, pihaknya saat ini mulai menelusuri aset-aset yang telah didanai oleh umat NU, di antaranya ada yang bisa dikembalikan kepada NU, tetapi ada pula yang sudah tidak jelas lagi kepemilikannya.

""Rupanya ‘perasaan memiliki’ orang-orang NU terlalu besar sehingga sulit membuat batasan. Banyak lembaga pendidikan NU tidak memiliki manajemen yang baik, bahkan ada perebutan sehingga satu sekolah tinggi dikelola tiga rektor, " katanya disambut tawa hadirin.

Karena itu, lanjut Hasyim, warga NU perlu meningkatkan kemampuan manajemennya selain mengembangkan kultur NU-nya. Ia memberi contoh bagaimana Muhammadiyah mengelola aset-asetnya seperti sekolah, perguruan tinggi hingga rumah sakitnya dengan baik, sehingga bisa berkembang seperti saat ini.

"Ketika seorang tokohnya Malik Fadjar yang mengelola sejumlah lembaga pendidikan selesai periodenya, aset tersebut diserahkan tanggung jawabnya kepada pengelola Muhammadiyah yang baru. Jadi tak ada aset yang hilang karena melekat dengan pengelolanya, "jelasnya.

Ia mengatakan, pesantren NU memang memiliki pengembangan tradisi khas NU yang sangat baik, dari mulai studi syariahnya sampai kebiasaan sehari-hari yang khas NU, sehingga pesantrennya dijamin mencetak orang-orang NU juga.

Hasyim mengatakan, hal tersebut yang membedakan dengan Muhammadiyah, di mana sekolah-sekolahnya hanya sebagai "public service" di mana pelajaran kemuhammadiyahan hanya seputar sejarah organisasi itu, sama sekali tak mengajarkan tradisi khasnya, sehingga lulusannya tak dijamin menjadi orang Muhammadiyah.

"Hanya kultur saja tidak cukup. Kalau NU hanya berkutat pada kultur maka NU akan habis, sekarang saja sudah terbawa oleh gerakan organisasi lain yang terstruktur, "imbuhnya.(novel/ant)