Banyak kalangan yang salah paham tentang Islam. Akhir-akhir ini mereka mensejajarkan Islam dengan agama-agama lain, termasuk dalam hal keimanan kepada Allah.
”Banyak buku yang ditulis akademisi Muslim menjadikan Islam sebagai agama monoteisme. Padahal Islam bukan agama monoteisme, ” ujar Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Adian Husaini.
Menurutnya, Islam adalah agama wahyu. Karena itu, ia berbeda dengan agama-agama lain yang mengklaim sebagai agama monoteisme. Jadi memasukkan Islam sebagai agama monoteis itu tidak benar.
”Islam itu berdasarkan tauhid, dan tauhid itu bukan monoteisme. Kalau tauhid itu hanya Allah Swt yang diesakan. Berbeda dengan monoteisme. Monoteisme itu mengesakan siapa saja, termasuk mengesakan batu atau Fir’aun, ” paparnya.
Terminologi demikian, kata kandidat doktor Universitas Islam Antarbangsa (UIA) Malaysia, berawal dari buku-buku yang ditulis para oroientalis dan disadur atau dikutip mentah-mentah oleh para sarjana Muslim yang belajar ke Barat. Di sisi lain, banyak alumni Timur Tengah yang tidak kritis terhadap masalah ini. ”Ini soal serius, soal aqidah umat, ” tegas Adian.
Akibat ketidakpahaman dan kesalahan ini, maka wajar saja bila saat ini kajian Islam di banyak perguruan tinggi (Islam), agama wahyu ini dibahas sebagaimana ilmu-ilmu lain. ”Semua konsep iman dalam Islam dibongkar. Padahal antara ilmu-ilmu keIslaman punya standar yang tidak sama dengan ilmu-ilmu alam dan sosial” tegasnya.
Dampak selanjutnya, terang Adian, banyak sarjana Islam yang pemahaman Islamnya mengikuti framework orientalis. Mereka tidak lagi meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar.
Sementara itu Direktur Institute for The Study Thought and Civilization (INSIST) Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menyatakan, agar kita tidak terseret pada pla pikir orientalis Barat, maka wordlview kita harus berdasarkan nilai tauhid.
”Wordlview Islam itu adalah aqidah fikriyyah atau kepercayaan yang berdasarkan pada akal, yang asasnya adalah keesaan Tuhan (tawhid/shahadah), yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim dan berpengaruh terhadap pandangannya tentang keseluruhan aspek kehidupan terutamanya tentang realitas dan kebenaran, " paparnya.
Sederhananya, tegasnya, Pandangan Hidup Islam itu adalah ”Ilmu, Iman, ’Amal” menyatu. Ia menjelaskan bahwa ilmu harus mendahului iman. Sedangkan ’amal tidak boleh lepas dari ilmu dan iman.
Ia menambahkan, ketika orang bersyahadat, ia harus mengawalinya dengan penuh kesadaran. Kata asyhadu, ”aku bersaksi” adalah menyaksikan dengan penuh kesadaran, keyakinan dan pengetahuan (cara pandang). Cara pandang ini mempengaruhi cara manusia melihat realitas atau segala yang wujud.
Menurutnya, definisi yang lebih teknis dan epistemologis adalah bahwa konsep-konsep Islam, apabila dikumpulkan, merupakan cara pandang yang khas dan itu juga menunjukkan cara kerja secara intelektual, saintifik dan spiritual, yang bermuara kepada konsep ”Tuhan”.
Dari konsep Tuhan inilah kemudian lahirlah konsep kehidupan, konsep dunia, konsep manusia, konsep nilai, konsep ilmu dan seterusnya.
Berbicara masalah konsep ilmu dan manusia, muncullah pendidikan; berbicara konsep manusia dan nilai, lahirlah hukum; berbicara konsep nilai dan dunia, lahirlah politik; berbicara konsep dunia dan kehidupan, lahirlah ekonomi; dan berbicara konsep kehidupan dan ilmu, lahirlah ilmu dan teknologi. Kesemuanya itu saling terkait satu dengan yang lainnya, dan bermuara kepada konsep ketuhanan.
Di sinilah, sambung Pembantu Rektor III Institut Darussalam, Gontor, konsep ”tauhid” memberikan makna yang lebih komprehensif; tidak saja mempercayai Allah sebagai yang Esa, tapi juga mengakui kesatuan dan keintegralan sistem yang terdapat di tengah-tengah makhluk-Nya. (dina)