Maklum, mereka sedang galau harga bumbu dan BBM meroket, padahal pemimpin mereka waktu kampanye dulu menjanjikan semua harga murah. Entah kebetulan atau tidak, wajah pemimpin mereka itu mirip Ustadz Abdul Somad: sama-sama bukan tampang kota.
Singkat kata, kehidupan Ustadz Abdul Somad te o pe be ge te, lah!
Tapi Ustadz Abdul Somad dalam cerita di atas hanyalah fiksi. Semua lokasi dan peristiwanya mengadopsi kejadian nyata yang dialami oleh Rasulullah Muhammad SAW—kecuali soal wajah dan emak-emak ngrumpi, tentunya. Masih ingat apa yang dialami oleh Rasulullah SAW saat pertama kali mendakwahkan Islam, bukan?
Kisah fiksi Ustadz Abdul Somad di atas adalah satire untuk menggambarkan bahwa konsekuensi yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW berkebalikan 180 derajat. Itu wajar, karena dakwah Nabi SAW langsung menusuk jantung keyakinan dan nafsu-nafsu yang selama ini mereka bergelimang menikmatinya.
Setiap pengemban risalah yang lurus, akan blak-blakan menyampaikan risalah Tuhan-nya tanpa pertimbangan untung-rugi atau manfaat-mudarat bagi dirinya pribadi. Pun tak peduli ketika risalah Tuhan yang harus ia sampaikan itu bikin penguasa sakit hati, atau mengusik keyakinan sekelompok minoritas—dalam jumlah, tapi mayoritas dalam kekuatan.
Itulah yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW dan siapapun yang meniti keteguhannya dalam berdakwah. Tanpa harus memuji dan menyanjung melebihi apa yang Allah nilai, demikian pula halnya dengan Ustadz Abdush Shomad.
Ketika dakwahnya ditolak di suatu tempat—bahkan sampai dideportasi dari Hongkong, itu bukan karena dakwahnya mengajak kepada kebencian atau mencetak umat yang beringas, sebagaimana dituduhkan akhir-akhir ini. Tetapi sebagai konsekuensi karena Ustadz Abdul Somad tutup mata dan telinga dalam berdakwah. Ia terus bicara apa kata Allah dan Rasul-Nya, tanpa takut celaan orang-orang yang mencela.