Eramuslim.com – Lelaki kurus itu sering dipanggil Ustadz Abdul Somad. Itupun tergantung siapa yang memanggil. Mereka yang tidak suka, ogah menyebut dengan embel-embel “Ustadz.” Sementara mereka yang sebenarnya jengah tapi masih malu-malu, menyebutnya dengan singkatan: UAS. Tapi kata William Shakespare, “Apalah arti sebuah nama.” Apalah arti sebuah panggilan.
Secara tiba-tiba, lelaki yang hari ini menjadi buah bibir rakyat sebuah negara itu mengumpulkan kaumnya. Di sebuah lembah tandus di antara lautan padang pasir, ia menyeru kaumnya untuk hanya beribadah kepada Allah, meninggalkan segala bentuk isme-isme yang diciptakan berdasarkan hawa nafsu, fanatik kebangsaan dan golongan serta tendensi duniawi lainnya.
Menakjubkan!
Semua orang yang hadir menyambut baik seruannya. “Baiklah, kami percaya… kami beriman kepada Allah sebagaimana yang engkau serukan.” Sejak itu, Ustadz Abdul Somad menjadi panutan semua manusia. Ia bebas memimpin shalat di depan Ka’bah tanpa ada yang melemparinya dengan kotoran onta.
Negara, dengan Abu Jahal dan Abu Lahab sebagai pemimpin, hadir mengawal dakwah yang diusungnya. “Siapa berani persekusi Ustadz Abdul Somad, akan berhadapan dengan aparat keamanan,” tegasnya.
Dakwah membuat kehidupan duniawi Ustadz Abdul Somad membaik. Ia disanjung banyak orang, seluruh fasilitas hidup ditanggung oleh negara. Dia tak perlu hijrah ke Thaif—hingga tubuhnya berdarah-darah karena dilempar batu orang sana—atau Habasyah untuk menyelamatkan keyakinannya. Tak perlu repot-repot kirim surat dakwah ke raja-raja sekitar negerinya.
Kalau pun ada gosip yang kurang enak didengar, itu cuma karena wajahnya bukan tampang kota (saya tidak bilang ndeso, lho!). Beberapa emak di pasar ngerumpi—anggap saja waktu itu belum ada sosial media—jangan-jangan ada seribu tipu di balik wajah tidak kotanya itu.