Perjanjian kerjasama yang akan ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Australia ditolak sejumlah elemen masyarakat sipil Indonesia dan internasional. Alasannya, dalam perjanjian tersebut mencakup kerjasama program nuklir, di antara isi kerjasama ada yang cukup kontroversial.
Perjanjian yang disebut Kerangka Kerjasama Keamanan Indonesia-Australia ini akan ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer dan Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirayuda.
“Penandatanganan program nuklir ini hanya akan menyeret Indonesia kepada bentuk lain ketergantungan terhadap sumber energi dari luar, yang akan mempersulit tercapainya keamanan energi seperti yang diharapkan oleh pemerintah,” ujar Torry Kuswardono, Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI kepada pers di Jakarta, Jum’at (10/11).
Menurutnya, realitas industri nuklir saat ini tidak berbeda dengan keadaannya pada abad ke-20 –di mana bahaya adalah bagian integral yang tidak dapat dipisahkan. Dari waktu ke waktu industri nuklir menunjukkan bahwa ”keamanan” dan ”energi nuklir” adalah dua terminologi yang tidak dapat disatukan.
Ia menambahkan, reaktor yang aman merupakan suatu mitos. Kecelakaan dapat terjadi di reaktor manapun, yang dapat menimbulkan terjadinya pelepasan radiasi yang mematikan dalam jumlah besar ke lingkungan. Bahkan dalam operasi normal materi radioaktif secara terus menerus dibuang ke udara dan air.
Kecelakaan-kecelakaan di dalam industri nuklir telah terjadi jauh sebelum bencana Chernobyl di tahun 1986. Duapuluh tahun kemudian, industri nuklir diwarnai dengan berbagai kecerobohan, insiden, dan kecelakaan.
Hal serupa, sambung dia, juga terjadi pada reaktor-reaktor nuklir tua yang merupakan penyakit endemis yang menyebar di seluruh dunia, terutama akibat dampak operasi jangka panjang dan komponen-komponennya yang berukuran besar. Pada saat yang sama, operator nuklir pun secara terus menerus berusaha untuk menurunkan biaya dikarenakan tingkat persaingan yang ketat di pasar listrik dan demi untuk memenuhi harapan pemegang saham.
Nur Hidayati, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara menyatakan, “Banyak sekali masalah yang terkait dengan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), terutama masalah pembuangan limbah radioaktif."
Menurutnya, ketika PLTN di tempatkan di wilayah dengan kondisi geologis yang rawan seperti Indonesia ini hanya akan menempatkan masyarakat Indonesia ke dalam bahaya yang sangat besar.” Berbeda dengan nuklir, energi terbarukan dan efisiensi energi dapat menyediakan kebutuhan energi lebih cepat dan lebih aman," tegasnya.
Dian Abraham dari Masyarakat Antinuklir Indonesia mengatakan, ”Proses pengambilan keputusan rencana PLTN di Indonesia sama sekali mengabaikan partisipasi masyarakat termasuk ketentuan yang tercantum di dalam UU No. 10/ 1997 tentang Ketenaganukliran sehingga kontradiktif dengan proses demokratisasi yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia," katanya.
Oleh karena itu, "Sangat ironis apabila pemerintah Australia menutup mata terhadap keseluruhan proses tersebut dan mengutamakan aspek bisnis uranium semata," imbuhnya.
Oleh karena itu, Greenpeace, WALHI, Masyarakat Antinuklir Indonesia, bersama-sama menyerukan kepada pemerintah Indonesia menghentikan upaya-upaya untuk mengembangkan energi nuklir di Indonesia. (dina)