Kepastian Hukum Kasus Soeharto Diperlukan

Kasus hukum mantan Presiden Soeharto sebagai tersangka harus dituntaskan agar diri dan keluarganya tidak menanggung beban sebagai tersangka korupsi selama 32 tahun memimpin bangsa ini.

Kepastian status hukum itu harus jelas. Karena itu harus diakhiri dengan hukum dan bukannya secara politis. Selain itu agar ada rasa keadilan bagi masyarakat di mana penuntasan beliau sudah ditetapkan dalam TAP MPR RI.

Hal itu mengemuka dalam dialektika demokrasi bertajuk “Layakkah Soeharto Diperiksa Kembali?” di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Jumat (28/4) bersama mantan Jaksa Agung era pemeirntahan Gus Dur, Marzuki Darusman (Golkar), Lukman Hakim Saifuddin (PPP), Benny K. Harman (Demokrat), dan Ario Bimo (PDIP).

Menurut Marzuki Darusman, pemeriksaan terakhir yang dilakukan dirinya hasilnya sama, yaitu tidak memenuhi syarat teknis medis untuk diperiksa, apalagi dihadirkan di pengadilan. “Jadi, tidak memenuhi persyaratan teknis hukum,” ujar Marzuki.

Benny K. Harman menambahkan, karena pemeriksaan dan perawatan Soeharto itu merupakan instruksi MA melalui keputusan No. 1846/2001 maka perawatan dan penuntasan kasus hukum itu harus dilakukan oleh Kejagung. Sehingga yang berkewajiban memeriksa dan merawat itu pemerintah, bukan keluarganya.

Dengan begitu maka akan ada keputusan apakah Soeharto itu sehat atau benar-benar sakit secara permanen. Yang pasti menurut Lukman Hakim Saifuddin informasi tentang kesehatan Soeharto sejak dulu hingga sekarang ini tidak jelas.

Untuk itu perlu dibentuk tim medis baru untuk mendapatkan kepastian sehat-tidaknya beliau bisa dihadirkan atau tidak di pengadilan. Itu penting karena bagaimana pun kasus Soeharto itu mesti tuntas. "Jangan digantung dan tidak ada kepastian, biar ada kepastian terhadap rasa keadilan terhadap beliau dan masyarakat sendiri."

Senada dengan itu Ario Bimo menyatakan bahwa pemeriksaan Soeharto adalah perintah TAP MPR RI. Jangan sampai ada ketidakpastian yang justru akan menjadi beban bagi keluarga dan Soeharto sendiri. Dengan demikian maka tidak ada isu “tebang pilih” dalam menegakkan hukum dan ada keadilan bagi masyarakat.

Benny K. Harman menilai yang salah dalam proses hukum Soeharto itu bukan terletak pada Pak Harto-nya melainkan pada Kejagung yang tidak menjalankan instruksi keputusan MA No.1846/2001 tersebut. Bahwa yang berkewajiban menghadirkan Soeharto ke pengadilan adalah Kejagung.

Demikian juga dengan kondisi kesehatan beliau; apakah sakit permanen atau tidak itu juga harus diputuskan secara hukum oleh Kejagung.

Marzuki Darusman tetap berharap kasus Soeharto ini diakhiri secara hukum. Misalnya jika Soeharto tidak memenuhi syarat medis untuk diperiksa dan dihadirkan ke pengadilan juga harus ditetapkan secara hukum. Bukan secara politis.

“Ini harus dilakukan sebelum beliau meninggal. Sebab, kasihan jika sampai meninggal status hukumnya tidak jelas seperti sekarang ini dan itu juga menjadi beban bagi keluarganya,”kata Marzuki Darusman lagi. (dina)