Gubernur seluruh Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) menilai UU Otonomi Daerah (Otda) Nomor 34/2004 tidak efektif dan malah menghambat realisasi program pembangunan di daerah.
Ironisnya lagi, dalam prakteknya UU itu masih sering terjadi tumpang-tindih peraturan antara UU dengan Peraturan Pemeirntah (PP) dan semacamnya. Karena itu DPD dan APSI mengusulkan perlunya revisi UU otonomi daerah tersebut.
Demikian antara lain kesepakatan pertemuan APPSI dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang dipimpin oleh Ketua DPD RI Ginandjar Kartasasmita, didampingi Wakil Ketua DPD RI Irman Gusman, Laode Ida, dan Aksa Mahmud di Gedung Gedung DPD, Jakarta, Senin (4/6).
Sedangkan dari APPSI dipimpin Ketua Umum APPSI, Sutiyoso yang juga Gubernur DKI Jaya, didampingi Wakil Ketua APPSI Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad.
Hadir antara lain Gubernur DIY Yogyakarta Hamengkubuwono XI, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Sumatera Barat Gamawi Fauzi, Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang, Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, dan lain-lain yang diwakilkan pada bawahannya.
Dalam rangka optimalisasi otonomi daerah para gubernur tersebut juga mendukung amandemen UUD 1945 menyangkut penguatan wewenang DPD RI Pasal 22 D.
Sutiyoso, misalnya, menegaskan jika misi otonomi daerah itu sesuai amanat Pasal 18 UUD 1945, yang kemudian diatur dalam UU Otda Nomor 22/2004 sebagai revisi dari UU Otda Nomor 22/1999.
”Ternyata sejak tahun 2004, Otda tidak sejalan dengan misi Otda itu sendiri karena pemeirntah pusat enggan melaksanakan desentralisasi. Soal APBD saja misalnya masih harus diserahkan ke Depdagri untuk dikoreksi. Itu juga menghambat otonomi, ” ujar Sutiyoso.
Seperti yang dilaporkan ke APPSI soal bibit padi unggul yang dibagikan pemerintah, ternyata pemerintah menyamaratakan seluruh kondisi tanah dan musim di Indonesia.
Padahal, terang dia, , kondisi tanah dan musimnya pun ada yang berbeda satu sama lain. Sehingga ada yang dikirim jauh sebelum musim, datang di musim kemarau dan paceklik dan semacamnya. Sehingga bibit yang dibagikan tersebut tidak dipakai dan malah dikonsumsi untuk makan oleh masyarakat.
Para kepala daerah juga menegaskan akan memback up pemberantasan korupsi di daerah sejalan dengan amanat reformasi 1998 dan pemerintah pusat.
Karena itu, kata Sutiyoso, pihaknya bertekad memberantas korupsi. Hanya saja dia meminta agar pejabat yang belum terbukti bersalah tetap menggunakan praduga tak bersalah.
Namun kenyataannya dalam pemberitaan di media massa, begitu dipanggil oleh aparat kepolisian atau kejaksaan, nama pejabat itu sudah jatuh dan keluarganya juga jatuh, sehingga tidak efektif lagi menjalankan tugas pemerintahannya.
Fadel Muhammad juga mengakui banyaknya peraturan peraturan pemerintah yang bertentangan dengan UU Otda. Ia menyebut pengangkatan pegawai negeri di daerah yang ditentukan oleh pusat. Padahal yang paling tahu kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah pemerintah daerah. Juga banyak tumpang-tindih kewenangan antara pusat dengan gubernur, bupati, dan wali kota. Untuk itu Fadel mendukung amandemen Pasal 22 D UUD 1945 dalam rangka menguatkan Otda tersebut.
Gamawi Fauzi mempertanyakan efektifitas UU Otda khususnya terkait dengan anggaran 20 persen pendidikan nasional. Alasannya, kalau UU itu diterapkan, maka yang paling berat melaksanakannya adalah bupati dan walikota, karena mereka inilah yang langsung berhubungan siswa-siswi, gaji guru, karyawan, dan sekolah-sekolah yang rusak. Bukan gubenur.
”Jadi, anggaran 20 persen itu menjadi beban bagi bupati/walikota. Anehnya anggaran 20 persen dari Rp 700 triliun APBN itu hanya digunakan untuk pendidikan tinggi, ” tandas dia. (dina)