Kekuasaan itu Tak Kenal Agama

Dalam konteks ini, menjadi tantangan bagi umat beragama untuk selalu mengasah kemampuannya membangun komunikasi dan bernegosiasi dengan kekuasaan, beradaptasi, atau setidaknya jika ingin berpolitik, bahkan beroposisi, dibutuhkan kemampuan strategi yang mampu memenangkan agama dalam dialektikanya dengan kekuasaan.

Sehingga, agama akan selalu bisa eksis dalam dinamika kekuasaan yang terus bergilir dan berganti-ganti aktornya.

Di sini butuh kemampuan menterjemahkan formalitas, normalitas dan moralitas agama ke dalam konteks yang terus menuntut perubahan.

Simbol, atribut, dan ajaran normatif dalam agama sangat penting, namun mesti dikemas dalam bentuk aksi perjuangan yang tepat dan lebih taktis.

Sebab, agama tanpa strategi perjuangan yang tepat pada faktanya telah mengambil banyak resiko bagi nasib pemeluk dan eksistensi masa depan agama itu sendiri.

Satu sisi, agama tidak boleh kehilangan prinsip dan nilai-nilai fundamentalnya, tapi disisi lain, untuk eksis dan punya pengaruh, meniscayakan langkah-langkah operasional yang strategis.

Ekpresi keberagamaan rentan untuk berhadap-hadapan, bahkan bermusuhan dengan kekuasaan. Di sinilah umat beragama seringkali mengambil risiko ketika kekuasaan sudah mulai merasa terancam.

Relasi pro-kontra agama-kekuasaan dalam sejarah mesti mampu mematangkan umat beragama untuk membuat pilihan-pilihan yang lebih strategis agar agama terus mampu mempertahankan eksistensinya dan punya ruang untuk menebarkan pengaruh sosialnya. [RMOL]