Kekuasaan itu Tak Kenal Agama

Sebaliknya, di Indonesia, capres-cawapres, para caleg dan calon kepala daerah, justru menggunakan narasi agama, bahkan melibatkan para agamawan, terutama ulama dan ustaz sebagai juru kampanye.

Bukan karena mereka religius. Bukan lantaran mereka taat beragama lalu mengusung isu agama, tidak! Kampanye pakai peci, tapi enggak shalat. Mengutip Alkitab, tapi enggak pernah ke gereja. Ini hal biasa.

Dan faktanya, saat menjabat, nyaris tak ada kepentingan agama, ulama dan umat yang diperjuangkan.

Para politisi secara umum hanya memanfaatkan fanatisme keagamaan pemilih untuk meraih dukungan. Mungkin mengecualikan PKS, karena mendedikasikan sebagai partai dakwah.

Melekat agama dalam perjuangannya. Sampai hari ini, tampaknya masih konsisten.

Dalam proses kekuasaan, kalau agama itu resisten dan jadi ancaman bagi kekuasaan, ya disikat. Disingkirkan. Setidaknya dipinggirkan.

Entah dengan cara dipreteli legilltimasinya, dikurangi perannya, dibubarkan ormasnya, dikriminalisasi dan diteroriskan tokoh-tokohnya, atau diadu domba hingga dengan sendirinya porakporanda.

Ini bukan karena penguasa benci dan tidak suka pada agama. Sama sekali tidak. Ini semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan dimana penguasa merasa terancam oleh aksi kelompok keberagamaan tertentu.