Kekuasaan itu Tak Kenal Agama

Eramuslim.com – SERINGKALI kita dengar kalimat “Islam disudutkan”. Di Eropa, masyarakat Kristen juga merasa bahwa Kristen dipinggirkan.

Terutama di Prancis yang sejak 1905 secara ekstrem memisahkan negara dari gereja. Bergantung agama apa yang berhadapan dengan kekuasaan, seringkali merasa disudutkan dan dipinggirkan.

Secara umum, bagi kekuasaan, agama tidak begitu penting kecuali sebagai alat legitimasi dan pemberi dukungan sosial.

Agama apapun, Kalau memberikan dukungan sosial (social capital), didekati, diajak kerjasama, dan dimanfaatkan.

Memang, Islam di Timur Tengah dan Kristen di Eropa di masa lampau, serta Yahudi di Israel dan Islam di Arab Saudi saat ini, memiliki situasi dimana agama dan kekuasaan tidak saja harmonis, tapi menyatu.

Keduanya bisa berbagi bersama karena saling membutuhkan dan saling meligitimasi.

Namun, hubungan kekuasaan dan agama tak selalu akur. Bahkan seringkali memakan korban di sepanjang sejarah.

Penindasan kekuasaan terhadap umat beragama (atau kelompok keagamaan) dan pemberontakan atas nama agama terhadap kekuasaan sering terjadi.

Intinya, kekuasaan rukun dengan umat beragama jika agama itu dibutuhkan. Tapi, ketika agama jadi ancaman, cerita akan terlihat sebaliknya.

Era pemilihan umum di banyak negara, agama sering menjadi bagian dari isu penting. Bergantung kecenderungan pemilih.

Kalau pemilihnya punya fanatisme terhadap agama tertentu, maka para tokohnya direkrut dan dilibatkan sebagai vote getter. Narasi agama muncul menjadi penguat legitimasi.

Semata-mata untuk mencari dukungan suara.