Kejar Setoran, Sri Mulyani Hitung Kewajiban Pajak Dari Gaya Hidup Seseorang

Untuk diketahui, lanjut politisi Partai Gerindra ini, target penerimaan pajak di APBN 2018 sebesar Rp 1.618,1 triliun. Angka itu melejit 9,9 persen dibandingkan tahun 2017 yang terpatok sebesar Rp 1.472,7 triliun. Dari penerimaan perpajakan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak sendiri harus mencapai target sebesar Rp 1.385,9 triliun, sedangkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebesar Rp 194,1 triliun.

“Artinya, Direktorat Jenderal Pajak dipaksa bekerja ekstra mengejar tambahan Rp 144,1 triliun dari target penerimaan pajak pada tahun 2017,” tegas Heri.

B

Padahal, tambahnya, dalih pemerintah bahwa peredaran bruto WP, termasuk dengan menilai gaya hidupnya sama sekali tidak dapat dibaca dengan pasti. Hal itu harusnya tak bisa jadi alasan untuk melakukan penghitungan tak langsung peredaran brutonya.

“Ini adalah masalah psikologis. Kita tahu, kepercayaan publik terhadap petugas pajak masih rendah. Tidak semua petugas pajak itu bersih. Ada juga yang nakal. Belum lagi soal privacy dimana aparat pajak harus menilai omzet dari gaya hidupnya. Inilah yang jadi soal,” ketusnya.

Diakuinya bahwa dari kacamata fiskus, aturan ini bisa dibenarkan, tapi kalau dari kacamata legalitas, PMK itu kurang bisa dibenarkan karena tidak didukung dengan data yang kuat. Padahal urusan pajak adalah urusan yang tidak boleh dikira-kira lewat perhitungan tak langsung. Harus akurat tanpa polemik.

“Kalau tidak, ini akan jadi masalah di kemudian hari. Gelombang protes kapan saja bisa terjadi,” imbuhnya.

Dijelaskan Heri bahwa suatu pelaporan penghasilan harus dibuktikan dengan bukti seperti faktur, nota, kuitansi, dan lain-lain. Apabila sudah ada pembukuan, metode-metode yang ada di PMK ini masih tetap bisa dipakai.