“Artinya, Direktorat Jenderal Pajak dipaksa bekerja ekstra mengejar tambahan Rp 144,1 Triliun dari target penerimaan pajak pada tahun 2017,” kata Legislator dari dapil Jabar IV itu.
Menurutnya, ketimbang mengejar orang yang sudah meninggal, pemerintah seharusnya fokus pada perbaikan database perpajakan nasional, termasuk rasio pajak.
“Target penerimaan pajak yang tak masuk akal di tengah rasio pajak yang rendah menjadi tanda lemahnya sistem database perpajakan nasional,” ujarnya.
Rasio pajak nasional, terang dia, ada di angka 11 persen. Padahal sebagai negara dengan kategori lower middle income countries seharusnya rata-rata rasio pajaknya mencapai 17 persen.
“Lemahnya database perpajakan membuat rasio pajak kita akan terus menurun. Masih banyak pekerja informal di Indonesia yang notabene tak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP),” ungkapnya.
Saat ini, terang Heri, jumlahnya mencapai 70 persen sehingga hanya 30 persen yang bisa menjadi objek pajak.
“Jadi lucu mendengar pemerintah yang menggenjot WP yang sudah meninggal di saat potensi penerimaan pajak belum dikelola secara optimal. Mengejar orang hidup saja susah, apalagi orang yang sudah meninggal,” tuturnya.
Lebih jauh, disarankannya, pemerintah juga sebaiknya concern pada praktik perusahaan multinasional yang memanfaatkan aktivitas lintas batas untuk menghindari pajak suatu negara.
“Ketimbang mengejar orang yang sudah meninggal, pemerintah mustinya lebih memprioritaskan usahanya untuk mengusut pengemplang pajak yang menyembunyikan asetnya di luar negeri dan penggelapan pajak oleh perusahaan asing (PMA),” tegas Heri.
Untuk diketahui, kata dia, aset yang disimpan di Singapura saja mencapai Rp 2.600 triliun, sedangkan yang mengikuti program pengampunan pajak disebut-sebut tidak sampai 50 persen.
“Belum lagi perusahaan asing yang melakukan penggelapan pajak. Dilaporkan bahwa tahun 2013 saja terungkap ada 4000 PMA dari 7000 PMA yang telah merugikan negara triliunan rupiah dengan cara melaporkan rugi dari tahun ke tahun,” bebernya. (ts)