Kejaksaan Agung menolak menindaklanjuti kasus orang hilang dan penculikan aktivis tahun 1997-1998, sebab peristiwa itu terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.
"Dugaan peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998 terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, berdasarkan pasal 43 UU no. 26 dan penjelasan bahwa itu pelanggaran HAM berat, tapi terjadi sebelum ada UU itu, " jelas Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dalam rapat kerja dengan Komisi III, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/1).
Menurutnya, untuk melanjutkan pemeriksaan terhadap kasus pelanggaran HAM berat, yakni kasus orang hilang dan penculikan aktivis 1997-1998 itu harus dibentuk pengadilan HAM Ad Hoc sesuai keputusan dari Presiden atas usulan DPR.
"Sampai saat ini pengadilan ad Hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat tahun 1997-1998 yang dimaksud belum dibentuk, karena itu pihak kejaksaan tidak mungkin menindaklanjuti temuan dari Komnas HAM, " jelas Arman.
Menanggapi hal itu sebagian besar Anggota Komisi III DPR mengusulkan agar kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998 dibawa ke pengadilann umum, dan tanpa harus menunggu pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc.
"Jangan sampai kita dianggap tidak becus dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, karena setiap saat kami yang demo, bukan kejaksaan agung, " ujar Anggota Komisi III DPR Akil Muchtar.
Senada dengan itu, anggota Komisi III Dewi Asmara menegaskan, untuk menghindari dugaan intervensi dalam proses penegakan hukum, tidak ada alasan bagi pihak kejaksaan untuk menindaklanjuti kasus HAM berat tersebut. (novel)