Namun yang disayangkan, rencana impor justru sangat berdekatan dengan masa panen raya yang diprediksi jatuh pada Februari-Maret 2018. Bahkan di beberapa daerah, masa panen justru hadir lebih awal, yaitu pada medio Desember 2017 silam.
Hal ini pun diakui oleh Masrun, petani asal Mernek, sebuah desa yang berlokasi di wilayah Maos, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Saat ditemui Aktual, ia mengaku jika sebagian lahannya telah dipanen akhir Desember 2017 lalu.
“Saya panen itu dari 25 Desember 2017, alhamdulillah sempat ngerasain harga gabah Rp 6.000 per kg,” kata Masrun saat ditemui Aktual, Minggu (4/3) lalu.
Masrun mengatakan, dari 2,5 hektar lahan miliknya, hanya sekitar 1,5 hektar yang dipanen pada saat harga sedang bagus. Menurutnya, hasil dari penjualan tersebut mencapai Rp 24,5 juta.
Diakui Masrun, harga gabah kering sebelum masa panen memang sempat mencapai Rp 7.380 per kg. Tapi harga gabah kering secara perlahan mulai menurun, bahkan pada saat rencana impor beras belum diumumkan di Jakarta.
“Akhir Desember sudah mulai goyang harganya karena mungkin sudah ada informasi impor beras,” analisanya.
Masrun melanjutkan, keanjlokan harga gabah pun semakin menjadi-jadi setelah Enggartiasto mengumumkan rencana impor beras pada 11 Januari 2017. Ia menuturkan, anjoknya harga gabah di desanya pun terhenti di angka Rp 4.000 per kg.
“(Impor beras) itu berpengaruh sekali ke harga gabah, kalau menurut petani itu drastis betul turunnya,” ujarnya.
Di tempat yang lain, Surojudin (35), petani asal Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah pun mengemumukakan hal yang serupa. Saat ditemui Aktual, pria yang akrab disapa Judin ini menyatakan jika para petani di daerahnya sudah tidak kaget dengan penurunan harga gabah menjelang masa panen.