Sejumlah anggota DPR mendesak pemerintah agar kedatangan Menlu AS Condoleezza Rice dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan nasional, jangan mau dijadikan budak Amerika Serikat (AS). Kedatangan Condoleezza justru merupakan saat yang tepat bagi pemerintah untuk berani menyatakan tidak pada tekanan-tekanan AS.
‘’Sudah saatnya kita menyatakan tidak pada AS. Kedatangan Condoleezza harus dimanfatkan untuk mengevaluasi seluruh kebijakan politik dan ekonomi AS terhadap Indonesia, khususnya kebijakan yang merugikan kepentingan nasional kita. Pokoknya, jangan gadaikan kekayaan kita pada AS, sampaikan itu pada Condoleezza,’’ kata anggota Komisi I DPR Yuddy Chrisnandi kepada wartawan di Jakarta, Senin (13/3).
Menurutnya, ada empat masalah penting yang mesti disampaikan kepada Condoleezza. Pertama, masalah Freeport di mana kekayaan alam Indonesia telah dikeruk puluhan tahun dan tak jelas kapan berakhirnya. Kedua, masalah ladang migas di Blok Cepu, di mana AS ingin memaksakan kehendak agar eksplorasinya melalui Exxon Mobil, padahal seharusnya itu menjadi hak Pertamina.
Ketiga, masalah isu terorisme yang secara sepihak pemerintah AS melakukan pemeriksaan terhadap WNI tetapi hasilnya tidak jelas. Keempat, masalah kebijakan unilateralisme AS yang menyeret-nyeret Indonesia ke dalam kancah perang melawan terorisme, serta masih banyak lagi persoalan lain di mana AS selalu memaksakan kehendak terhadap negara-negara timur.
‘’Jadi kehadiran Condoleezza harus dijadikan momentum untuk membela kepentingan rakyat dan tumpah darah Indonesia. Pemerintah jangan mau didikte Condoleezza Rice. Kalau Blok Cepu diberikan kepada Exxon Mobil, rakyat akan marah seperti reaksi rakyat Papua terhadap Freeport,’’ ujar dia.
Ketua Fraksi PDI-P Tjahjo Kumolo mengaku sependapat dengan Yuddy. Menurut Tjahjo, kalau pemerintah memaksakan Exxon mengambil Blok Cepu, itu merupakan skandal terbesar. Fraksinya menolak dan meminta pengelolaan Blok Cepu dikembalikan ke Pertamina."Kalau pemerintah tetapkan Exxon Mobil sebagai operator utama Blok Cepu, kami akan ajukan hak angket karena ada pelanggaran hukum,’’ kata Tjahjo.
Ia menegaskan, salah satu keputusan rapat dengar pendapat Komisi VII DPR dengan Pertamina, DPR tidak mengakui hasil tim negosiasi yang melibatkan Andi Malarangeng dan Lie Chi Wei. Hasil negosiasi itu cacat hukum karena melibatkan orang luar BUMN.
‘’Dari hasil pemeriksaan BPKP 2000/2001, pemerintah rugi 240 juta dolar AS. Kejaksaan Agung menyimpulkan ada dugaan KKN, ini harus dituntaskan. Khusus soal Freeport, kami mendesak pemerintah agar meninjau kembali kontrak kerjasama yang selama ini terjadi ketidakadilan, harus ada keberpihakan pada rakyat,’’ kata Tjahjo.
Anggota Komisi I DPR lainnya, Permadi juga meminta pemerintah, terutama Menlu Hasan Wirayudha agar jangan mau dipaksa Menlu AS Condoleezza Rice agar menyerahkan pengelolaan Blok Cepu kepada Exxon Mobil dan didikte masalah Freeport. Sebaliknya, pemerintah harus menjelaskan secara transparan mengenai sejarah Blok Cepu dan besarnya penolakan rakyat jika pengelolaan ladang migas itu diserahkan ke Exxon Mobil.
Menurutnya, secara logika, sangat tidak masuk akal jika pemerintah yang punya saham mayoritas 55 persen menyerahkan hak pengelolaan Blok Cepu kepada Exxon Mobil yang cuma mengantongi saham 45 persen. Selain itu, berdasarkan pengalaman di Aceh dan Natuna, kita selalu diabaikan Exxon Mobil.
‘’Di Natuna, Exxon dapat 100 persen, sementara pemerintah dapat 0 persen, Cuma dapat pajak. Di Aceh, minyak kita hanya disedot dan dibawa lari untuk cadangan energi AS. Jadi, lawan kalau Blok Cepu dipaksakan kepada Exxon Mobil,” sambungya. (dina)