Kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS), George W Bush terkait erat dengan pengamanan kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional AS yang sedang menuai gugatan publik. Mulai dari tuntutan pemutusan kontrak hingga penutupan operasi mereka. Rakyat Indonesia harus mewaspadai penyambutan luar biasa pemerintahan SBY atas kedatangan Bush.
Menurut Humas Jaringan Masyarakat Tambang (JATAM) Siti Maimunah, dalam 10 tahun terakhir penanaman modal asing AS mencapai USD 2,84 milyar, di sektor-sektor ekonomi Indonesia, khususnya sektor ekstraktif. “Tetapi praktek-praktek buruk beroperasinya investasi AS di industri ekstraktif telah berlangsung lebih dari 30 tahun,” katanya.
Sejumlah perusahaan itu melakukan pengambilalihan aset, penghancuran lingkungan, pemiskinan hingga pelanggaran HAM di sekitar pertambangan, misalnya, Freeport, Newmont, Exxon Mobil, Unocal Chevron dan lainnya.
Akumulasi dampak praktek buruk perusahaan-perusahaan transnasional AS di Indonesia di atas telah menuai sentimen negatif publik. Sentimen negatif ini meningkat dalam dua tahun terakhir, baik dalam bentuk aksi hingga tuntutan yang mengancam keamanan mereka.
Di antaranya kasus pengadilan kejahatan lingkungan oleh Newmont di Teluk Buyat, tuntutan renegosiasi kontrak hingga penutupan tambang PT Freeport yang terus mengemuka. Skandal pengambilalihan blok Cepu oleh Exxon Mobil dari tangan Pertamina. Ancaman pemutusan Kontrak Exxon di Natuna akibat tidak mampu berproduksi hingga kontraknya habis Januari 2005 lalu
Maemunah mengatakan,” Sejak lama konglomerasi modal AS menarik keuntungan besar dari industri ekstraktif di Indonesia. Khususnya dari sejumlah blok migas terkaya seperti Exxon Mobil di Aceh, Kepulauan Natuna dan Cepu, Unocal-Texaco di Kaltim, Chevron-Caltex di Riau, Conoco di Papua dan lainnya.”
“Dari Chevron Caltex di Riau saja AS mengontrol langsung eksploitasi 41% produksi migas Indonesia. Keuntungan penting lainnya berasal dari dua penambang raksasa AS, Newmont dan Freeport,” sambung dia. (dina)