Eramuslim.com – Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dituduh melakukan makar lantaran berencana menggelar rapat dan pawai akbar yang bertujuan untuk menegakkan khilafah. Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) sekaligus Nahdlatul Ulama (NU) Akhmad Sahal mengomentari hal itu.
“Menurut Sunni, pemerintah yang berbasis prinsip syura (musyawarah), bertujuan menegakkan ketertiban adalah pemerintah yang sah, asalkan pemerintah tersebut tak memerintahkan melakukan ma’siat. Pemerintah seperti itu sah dan wajib ditaati,” ujarnya melalui akun Twitter, @sahaL_AS.
Makar yang dimaksud adalah merongrong negara sendiri yang sah dan sudah jelas dasar negara. Sahal menekankan untuk membedakan antara makar dengan oposisi dan demonstrasi atau kritik terhadap pemerintah.
Kandidat PhD Universitas Pennsylvania Amerika Serikat tersebut menjelaskan, oposisi dan demonstrasi untuk menggugat kebijakan pemerintah itu sah, sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah. Tapi tindakan makar itu adalah berkhianat terhadap keabsahan negara yang berlandaskan Pancasila. Pendiri Cabang Istimewa NU Amerika Serikat tersebut menilai, paparan yang berkenaan dengan pandangan politik Sunni tentang pemerintah yang sah mengacu pada, “simak misal Al Iqtishad fil I’tiqad karya Al-Ghazali.” Sahal menjelaskan Republik Indonesia dibangun berdasar prinsip syura atau musyawarah, yang dalam bentuk sekarang adalah demokrasi. Dasar negara Pancasila tidak menyuruh maksiat, sehingga sah menurut fikih.
“Gerakan khilafah HTI yang merongrong NKRI adalah makar terhadap negara yang sah sama bertentangan degan syariah,” ujarnya..
Gagal Paham
Sayang sekali, Ahmad Sahal agaknya terlalu serampangan dan gagal paham dengan menyamakan syuro dengan demokrasi. Padahal keduanya jelas sangat beda, dalam hal nasab maupun prinsip. Syuro berasal dari teladan Rasul SAW dan di dalam syuro suara ulama yang benar dan alim dianggap lebih tinggi kedudukannya dibandingkan suara seorang koruptor. Tidak demikian dengan demokrasi.
Dalam demokrasi, yang berasal dari sistem pemerintahan para Rabbi Yahudi ketika berada di Palestina, 400 tahun sebelum Plato lahir, suara seorang ulama yang zuhud dan berilmu dianggap sama dan sederajat dengan suara seorang koruptor, pelacur, dan sebagainya. Tentu, demokrasi sama sekali beda dengan Syuro. Andaikata Ahmad Sahal memahami ini tentu dia tidak akan serampangan mengeluarkan pernyataan. (rz)