Gagasan Menneg PPN/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta tentang pengurangan impor BBM sebesar 35 persen mendapat dukungan dari anggota Komisi XI DPR Bobby Suhardiman. Sebab ia yakin pengurangan impor itu tidak akan menyebabkan kelangkaan BBM yang mengakibatkan rakyat marah sehingga berujung kerusuhan sosial.
“Jadi tidak usah ‘ngompor-ngompori’ akan terjadi kelangkaan BBM yang menyulut terjadinya gejolak sosial kalau ada pengurangan impor,” kata Bobby kepada wartawan, di Gedung DPR RI, Jum’at (28/04/06).
Menurutnya, gagasan mengurangi impor BBM itu baru usulannya Kepala Bappenas, karena berdasarkan hitungannya dengan melonjaknya harga minyak di pasar internasional sebesar 75 dolar AS per barel, maka subsidi BBM membengkak jadi sekitar Rp 126,3 triliun. Setiap kenaikan 1 dolar AS per barel, maka subsidi BBM menjadi sebesar Rp 4 triliun.
Jadi, tambah kader Partai Golkar itu, kalau kenaikannya 18 dolar AS (dari 57 dolar AS per barel yang ditetapkan di APBN 2006 menjadi 75 dolar AS per barel harga minyak di pasar internasional, red) maka pemerintah harus menyediakan subsidi BBM sebesar Rp 72 triliun. Kalau di APBN 2006, subsidi BBM ditetapkan sebesar Rp 54,3 triliun maka secara keseluruhan, subsidi BBM yang harus ditanggung sebesar Rp 126,3 triliun.
“Dari mana uang untuk menutup kekurangan itu? Sedangkan, dengan batalnya kenaikan TDL, pemerintah harus menyediakan uang sebesar Rp 10,2 triliun. Untuk subsidi pupuk sebesar Rp 2,3 triliun, sumbangan langsung tunai (SLT) sebesar Rp 1,8 triliun,”sambung dia.
Ia menambahkan, untuk menutup kebutuhan dana tersebut, tak mungkin menaikkan harga BBM karena kalau itu dilakukan, bisa memicu terjadinya gejolak sosial, mendorong inflasi dan terjadi stagflasi. “Jadi, tak mungkin menaikkan harga BBM, costnya terlalu tinggi dan tak tega rakyat kecil terkena imbasnya,” katanya.
Karena itu, daripada harga BBM dinaikkan, lebih baik impor BBM dikurangi. Apalagi kebijakan itu (kalau jadi kebijakan, red) sejalan dengan program penghematan energi, mengingat cadangan energi dunia juga makin menipis.
“Jadi, usulan Paskah itu sebatas imbauan. Pertimbangannya ya seperti yang saya jelaskan di atas tadi. Saya pikir, gagasan menghemat energi itu harus disosialisasikan dan di Bappenas itu sudah jalan. Paskah ke mana-mana pakai mobil kijang, disopiri sendiri dan tidak pakai pengawalan polisi,” kata Bobby.
Sementara itu Wakil Ketua FPDI-P bidang Ekuang, Ramson Siagian justru mensinyalir terjadinya kelangkaan BBM bersubsidi yang berbuntut kerusuhan sosial dalam waktu dekat. Ia melihat penyebab kelangkaan ada dua yakni pertama, dicuri mafia minyak kemudian diselundupkan ke luar negeri. Kedua, persediaan berkurang akibat impor BBM dikurangi sebesar 35 persen sebagaimana diusulkan Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta.
“Kita khawatir, dengan melonjaknya harga minyak di pasar internasional sebesar 75 dolar AS per barel, BBM bersubsidi dicuri dan diselundupkan ke luar negeri sehingga terjadi kelangkaan minyak. Prediksi saya,
masyarakat menyerbu SPBU-SPBU untuk antri BBM. Ini bisa memicu terjadinya gejolak sosial. Karenanya saya minta pemerintah lakukan antisipasi dini sehingga tak muncul gejolak,” tegasnya.
Anggota Panitia Anggaran (Panggar) DPR itu dapat memahami usulan Paskah Suzetta, karena dengan melonjaknya harga minyak dunia sebesar 75 dolar AS per barel akan menyebabkan subsidi BBM membengkak. Tetapi, kalau impor BBM dikurangi 35 persen, ditambah lagi kalau sampai BBM bersubsidi dicuri mafia minyak dan diselundupkan ke luar negeri, maka akan terjadi kelangkaan BBM dan itu bisa memicu kerusuhan.
Dijelaskan Ramson, volume BBM bersubnsidi dalam APBN 2006 sebesar 41,5 juta kilo liter. Kalau dikurangi 35 persen maka jumlahnya tinggal 27 juta kilo liter. “Sebenarnya, tanpa dikurangi 35 persen pun, –dengan adanya pelonjakan harga minyak di pasar dunia 62 dolar AS, belum sebesar 75 dolar AS per barel, kebutuhan BBM bersubsidi menurun, karena konsumsinya berkurang sekitar 15-20 persen,” imbuhnya.
Karena itu ia menilai kalau usulan Kepala Bappenas agar impor BBM dikurangi 35 persen tidak relevan dan ada kesan dipaksakan. Karena berdasarkan hitungannya, produksi minyak mentah kita masih mencukupi kebutuhan BBM bersubsidi. (dina)