Kebijakan ekonomi yang pro rakyat, tanpa anti terhadap ekonomi pro pasar merupakan jalan tengah atas persoalan ekonomi yang melilit bangsa ini. Hal itu mengemuka dalam diskusi yang bertajuk“Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial,” di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (12/6).
Eva Kusuma Sundari, anggota FPDIP, menjealaskan masih banyaknya kemiskinan dan pengangguran di Indonesia karena kebijakan makro pemerintah tidak berpihak kepada rakyat, tetapi lebih berpihak kepada elit penguasa dan juga pengusaha. “Wajar saja bila rakyat terus miskin,” katanya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah harus pro rakyat dan tidak perlu menuruti orang asing terutama AS yang terus menerus mengintervensi Indonesia dalam hal ekonomi. “Pasar juga harus tetap dikontrol, supaya rakyat juga terkena dampaknya,”sambungnya.
Dalam rangka ekonomi yang berkeadilan sosial maka perlu dilakukan restukturisasi pajak, di mana orang yang kaya dikenai pajak lebih besar dibandingkan dengan rakyat kecil. “Dalam rangka pengendalian pasar, perlu juga pencabutan subsidi pada BUMN yang terindikasi melakukan KKN,” saran dosen Undip, Semarang.
Selain itu anggaran APBN juga harus pro terhadap subsidi buat rakyat miskin dan menutup birokrasi atau departemen yang dianggap telah menyebabkan biaya tinggi. “Kita lihat saja Departemen Perdagangan dan perindustrian dipisahkan hal inikan akan memakan biaya tinggi,” jelasnya.
Dalam ekonomi Pancasila, kebijakan pemerintah tentu harus membela rakyatnya terutama rakyat kecil. “Kita tetap harus melindungi rakyat kecil,” kata dia.
Sementara itu, Boni Setiawan dari Institute Global Justice, menilai keterpurukan ekonomi Indonesia karena pemerintah dan juga DPR tidak berpihak kepada rakyat kecil. Karena itu perlu ada perombakan total kebijakan ekonomi maupun politik.
“Seharusnya elit partai itu lebih berkosentrasi membangun rakyat ini dari kemiskininan, begitu juga dengan kebijakan pemerintah yang pro rakyat,” terangnya.
Ia juga mengkritik bahwa aturan-aturan yang selama ini digunakan masih memakai neo kolonialisme, bukan kerakyatan. “Kita di luar menggunakan mekanisme pasar, di dalam juga menggunakan mekanisme pasar, ya jelas hancur,’ kata dia. Sebab bila barang yang masuk tanpa ada proteksi akan menghancurkan produk dalam negeri, terutama pertanian.
Berbagai kebijakan deregulasi perbankan dan keuangan yang mengarah kepada liberalisme dan menguntungkan sekelompok orang justru awal dari hancurnya ekonomi bangsa. Ia juga melihat kebijakan pemerintah tidak tegas kepada para koruptor, terutama pengemplang BLBI yang jumlahnya mencapai Rp 600 tiliun. (dina)