Eramuslim.com – Seperti diketahui, Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli atas nama pemerintah membatalkan pembangunan reklamasi Pulau G yang dikembangkan PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha Agung Podomoro, secara permanen. Keputusan tersebut diambil pemerintah setelah bertemu Komite Bersama Reklamasi.
Dalam keputusannya, Menteri Rizal Ramli mengatakan pembangunan tersebut harus dibatalkan lantaran Pulau G masuk ke dalam kategori pelanggaran berat yang bakal mengancam lingkungan hidup, proyek vital strategis, pelabuhan, serta lalu lintas laut.
Misalnya, menurut Risal, sekitar 300 meter dari Pulau G terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang. Ini adalah pembangkit vital yang memasok kebutuhan listrik di wilayah Jakarta seperti di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang; dan Stasiun Gambir, Jakarta Pusat.
Pelanggaran Berat, berarti pihak yang melaksanakan harusnya ditangkap
Atas penilaian pemerintah atas proyek reklamasi tersebut, seharusnya bisa ditindaklanjuti dengan langsung memproses pihak yang melakukan pelanggaran berat pada proyek reklamasi tersebut.
Terutama sang pengambil kebijakan dan pengambil keputusan untuk keberadaan proyek reklamasi pulau G tersebut yaitu Gubernur Ahok.
Logikanya; sebuah proyek yang dikatakan dan dinilai pelanggaran berat, harusnya juga melihat siapa pengambil kebijakan dan keputusan untuk mempertahankan keberadaan proyek reklamasi pulau G.
Ibarat sebuah sebab dan akibat, disebabkan ‘kengototan’ Gubernur Ahok atas keberadaan pulau G, akibatnya ditemukan begitu banyak pelanggaran berat yang dilakukan.
Lalu sanksi hukum apa yang harus dikenakan? apakah hanya sanksi sosial semata dengan melabeli Gubernur Ahok melanggar administrasi namun akhirnya lolos dengan label WDP memijam istilah BPK (Wajar dengan pengecualian).
Tanpa Sanksi dan hanya peringatan saja.
Mungkin kembali lagi, karena ini sebuah plot cerita pengalihan; jadi hanya butuh hasil pengalihan, itu saja, tak lebih dan tak kurang.(ts/lingkaran)