“Maka, kalau orang yang tidak berkuasa atau massa yang tidak berkekayaan cukup rawan dihegemonik cara menafsirkan sejarah. Karena ini penting untuk dibahas terus-menerus,” katanya.
Pimpinan DPD RI ini menambahkan, di Indonesia sendiri telah terjadi polarisasi sejak awal bangkitnya Pancasila, yakni antara Islam dan kebangsaan.
“Jadi dua ide besar itu, apa namanya sangat disayangkan sejak awal sudah terbentuk menjadi polarisasi,” imbuhnya.
Berbeda dengan Amerika Serikat, kata Jimly, polarisasi di negeri Paman Sam tersebut sudah tumbuh sebelum merdeka dan menjadi masyarakat industri, sehingga pengelompokan masyarakat di AS yakni antara kaum buruh dan produsen.
“Itu tercermin kaum elite di partai republik, sedangkan buruh seperti di Eropa partai buruh tapi di AS disebut Partai Demokrat. Meskipun partainya banyak, tidak ada larangan, yang menonjol dua. Karena dua setengah abad itu masyarakat politiknya terpolarisasi menjadi dua. Tapi dua yang rasional objektif menyangkut dua-duanya urusan duniawi,” katanya.
Di Indonesia sendiri, polarisasi terjadi antara agama dan bangsa dengan perdebatan yang cukup panjang.
Menurutnya, seharusnya perdebatan antara agama dan bangsa tidak perlu dilakukan.
Jimly meyakini, kalau membaca sejarah dengan benar maka, tidak akan terjadi lagi generasi yang mudah terperosok ke dalam polarisasi yang irasional.
“Di kita ini tidak begitu, antar kebangsaan dengan ke-Islam-an. Antara dunia dan akhirat, maka debatnya kadang tidak rasional, penuh emosi, karena menyangkut soal keyakinan, mestinya tidak ada lagi,” tandasnya.[rmol]