Kalangan DPR: Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Tak Jamin Jerat Koruptor

Kendati dunia perbankan Singapura tidak terganggu dengan perjanjian ekstradisi, terutama menyangkut penarikan aset konglomerat hitam alias koruptor, namun efek dominonya sangat besar.

Demikian diungkapkan anggota Komisi XI DPR F-PAN, Drajat H Wibowo pada wartawan di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Jum’at (27/4).

Menurutnya, jika perjanjian ini berhasi diteken, maka Indonesia bisa menarik uang koruptor antara lima sampai sepuluh miliar dollar AS dari total sekitar 87S-100 miliar dollar AS yang mengendap di perbankan Singapura.

"Meski kecil, dana yang bisa ditarik sekitar 5 persen, tapi efeknya dominonya sangat besar. Kalau menurut data Merril Lynch (lembaga keuangan AS) dana yang ada sekitar 87 miliar (Rp 870 triliun). Namun diperkirakan dana itu mencapai Rp 1.300 triliun. Seharusnya pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menarik uang negara itu minimal setengah dari dana yang dikorupsi, " ujar Drajat.

Ia menambahkan, dana-dana itu termasuk juga uang-uang illegal (judi) dan uang illegal logging yang sudah dicuci.

Namun demikian dia pesimis perjanjian ekstradisi akan berhasil membawa pulang Agus Anwar, Syamsul Nursalim dan lain-lain. Kalau gagal membawa koruptor itu, percuma saja penandatanganan ekstradisi itu.

Sementara itu, Ade Daud Nasution, anggota komisi VII DPR F-PBR, memperkirakan sekitar 80 persen koruptor itu sudah hengkang dari Singapura. "Singapura itu hanya tempat transit, " katanya.

Ade menyontohkan, Sudjono Timan dan Syamsul Nursalin yang menurutnya sudah berada di Shanghai- Cina. Begitu juga dengan Sukanto Tanoto sudah menjadi warga negara kehormatan Brazil, karena menanamkan usahanya di Brasil, sebesar Rp 1, 8 triilun.

Meski masih ada beberapa konglomerat hitam yang masih tinggal di Singapura, kata Ade Daud, hanya tinggal sebagian kecil. Bahkan mereka sudah bersiap-siap menunjuk lawyer guna menghadapi tuntutan hukum Indonesia, agar bisa diadili di Singapura.

“Jadi, begitu mereka mendapat informasi itu dari Mr R, seorang anggota parlemen Singapura dari People Action Party (PAP) mereka siap hengkang atau diadili di Singapura, ” ujar Ade Daud.

Apalagi, sambung dia, masih ada kemungkinan dalam perjanjian ekstradisi itu tidak dihadiri oleh Jaksa Agung Singapura, dan Jaksa Agung Indonesia. Yang hadir hanya Presiden, Panglima TNI dan Menlu. Itu berarti sesungguhnya Singapura lebih menginginkan kerjasama militer dan ekspor pasir laut daripada penangkapan koruptor dan pengembalian aset mereka dari Singapura.

Ade Daud juga memaklumi pernyataan Mantan PM Singapura, Lee Kwan Yeew yang mengatakan perbankan Singapura tidak terpengaruh dengan perjanjian ekstradisi itu karena hanya sekitar 2-3 persen dana konglomerat Indonesia yang ditaruh di Singapura.

"Justru yang perlu ditingkatkan adalah bagaimana asing bisa mempercayai perbankan Indonesia. Misalnya dengan tidak mengotak-atik aliran dana. BI harus benar-benar bisa menjaga kerahasiaan perbankan. " (dina)