Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) Abdullah Azwar Anas menilai kegagalan penanganan Lapindo disebabkan pemerintah gagal menentukan skala prioritas penanganan.
“Kegagalan penanganan lumpur Lapindo itu disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam menentukan skala prioritas. Sehingga menyebabkan penanganan Lapindo berlarut-larut dan tidak fokus, ” ujar Azwar Anas di Gedung DPR, Jakarta, Senin (11/6).
Menurutnya, selain tidak mampu menentukan skala prioritas, pemerintah juga tidak dapat menyelesaikan perdebatan soal pembiayaan dalam penanganan Lapindo. Sehingga, penanganan Lapindo menjadi berkepanjangan.
Padahal, katanya, DPR sejak lima bulan lalu telah mendesak pemerintah agar ditentukan status Sidoarjo apakah dengan status bencana alam, atau bencana nasional, karena status tersebut akan menentukan sumber pemberian anggaran.
Anggota Komisi V ini mendesak pemerintah berani memutuskan apakah persoalan semburan lumpur Lapindo itu sebuah bencana nasional, atau sebuah kekeliruan pihak pengelola yaitu PT. Lapindo Brantas Tbk. Dengan begitu maka sumber dananya akan jelas. Yaitu yang mana harus dibebankan kepada PT Lapindo, dan mana yang harus ditanggung oleh negara.
Sementara anggota FPDIP Ario Bimo menyatakan, Presdien SBY tak perlu takut dengan hak interpelasi. ”Jadi, SBY tidak usah alergilah dengan interpelasi DPR, ”ujar Ario Bimo.
Hal itu disampaikan menanggapi pernyataan Jubir Kepresidenan Andi Malarangeng dan Mensesneg Hatta Rajasa yang menyatakan bahwa Presiden Yudhoyono juga tidak akan hadir dalam interpelasi soal lumpur Lapindo.
Pernyataan kedua orang pembantu SBY itu menurut Ario Bimo sebagai cara pandang Presiden yang salah, karena kental dengan nuansa takut dan ’alergi institusional’ dalam menghadapi hak konstitusional DPR untuk melakukan pengawasan atas kebijakan pemerintah.
”Bahwa penolakan prematur presiden terhadap rencana DPR untuk kembali mengajukan interpelasi soal lumpur Lapindo merupakan bentuk pengabaian Presiden terhadap nasib ribuan keluarga korban, ” tandasnya. (dina)