Kurangnya stok beras di gudang Bulog, diduga karena kesengajaan. Sebab, menurut catatan Badan Pusat Statsitik (BPS), produksi beras Indonesia naik dari 53 juta ton ke 54 juta ton. Sedangkan alasan yang digunakan untuk mengimpor beras adalah alasan formal yang diada-adakan.
“Kalau pemerintah beralasan harga beras petani mahal, berarti tidak konsisten. Pemerintah berkewajiban mensejahterakan petani, bukan malah memiskinkan. Karena itu F-PDIP menolak impor beras,” ujar Ketua FPDIP Tjahyo Kumolo pada wartawan di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Selasa (29/8).
Menurutnya, Bulog harus bisa memprediksi hasil panen, stok dan kebutuhan beras masyarakat. Sehingga jika ada kekurangan bisa dipenuhi oleh hasil panen petani dan bukannya malah impor.
“Jadi, pemerintah dan Bulog juga harus memiliki data-data yang tepat dan akurat. Bukan ngawur dan seenaknya saja impor beras,” saran Tjahyo.
Sementara itu, anggota F-PAN Drajad Wibowo mengatakan, rencana impor beras itu bertolak belakang dengan nota keuangan pemerintah yang menyebutkan adanya angka pertumbuhan 5 persen kuartal pertama tahun 2006 ini.
"Atau mungkin pertumbuhan itu hanya menyangkut pangan dan bukan padi, dan kedua, Bulog gagal mendorong peningkatan stok beras nasional," imbuh dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV Suswono mengatakan, impor harus dikaji secara mendetail, karena Departemen Pertanian (Deptan) mengaku tidak terjadi kekurangan pangan.
”Jadi pemerintah harus mencari di mana terjadinya kekurangan beras itu, apakah ada di petani atau di pedagang. Kalau memang benar-benar kurang, maka pemerintah baru bisa melakukan impor beras dengan ketat,” ujar Suswono.
Menurutnya, pengetatan tersebut harus dilakukan agar impor tidak dimanfaatkan pemain gelap, sehingga pemerintah perlu memberikan subsidi harga kepada petani, agar Bulog dapat menyerap beras para petani secara optimal. Kalau pun terpaksa melakukan impor, maka itu hanya sebagian kecil saja, karena beras petani terserap secara optimal.
Suswono menyatakan, selama pemerintah sudah memiliki data yang valid tentang tingkat produksi dan konsumsi beras, DPR tidak akan mempersoalkan impor beras.
”Yang penting Departemen Pertanian dan Bulog sama-sama mempunyai data yang valid yang menyebutkan tingkat produksi rendah dan konsumsi tinggi, sehingga itu adalah indikator bahwa kita perlu impor,” kata politisi F-PKS.
Anggota Komisi IV DPR lainnya, Mardjono (F-PDIP) menjelaskan, dasar dilakukannya impor beras karena prediksi ketersediaan stok di gudang Bulog yang kurang tepat. Pasalnya pada akhir tahun diperkirakan hanya 560 ribu ton, sedangkan jumlah idealnya adalah 1 juta ton.
”Mengapa tidak tercapai? Sebab harga pembelian pemerintah (HPP) terlalu rendah, yaitu Rp 1.730. Harga tersebut di bawah harga pasar. Sementara Bulog tidak mau membeli jika harga pasarnya di atas Rp 1.730. Apalagi pembelian yang dilakukan oleh Bulog hanya mengandalkan penggilingan padi. Praktis, Bulog sulit mendapatkan barang,” katanya. (dina)