Eramuslim.com – Satgas TKI Kadin mempertanyakan rencana penghapusan kewajiban bagi TKA berbahasa Indonesia, yang telah diganti dengan semua TKA yang bekerja di Indonesia apapun jabatannya tidak perlu menguasai bahasa Indonesia. Revisi tersebut dilakukan untuk memperlancar investasi asing.
“Bagaimana bisa seperti itu. TKI kita saja kalau ditempatkan di suatu negara harus bisa bicara dengan bahasa negara itu, belum lagi harus mengerti budayanya juga,” ungkap Ketua Satgas TKI Kadin Nofel Saleh Hilabi di Menara Kadin, dalam keterangan persnya (24/8).
Nofel menyatakan TKI sudah banyak yang bekerja di Saudi Arabia, Jepang, Australia, Hongkong dan lainnya. Sebelum ditempatkan, mereka harus sudah dilengkapi dengan kemampuan berbahasa asing. Lalu mengapa TKA yang ada di Indonesia tidak diwajibkan berbahasa Indonesia.
Menurutnya, hal itu juga dapat menghambat transfer ilmu, terutama untuk pekerja asing di level-level tertentu seperti di tingkat Manajer atau Kepala Divisi. Menurutnya, pertimbangan pemerintah membebaskan TKA tidak berbahasa Indonesia semata-mata untuk memperlancar investasi asing adalah kebijakan yang kurang tepat.
“Transfer ilmu untuk sektor-sektor industri tertentu sangat penting. Kalau tim ahlinya tidak bisa Bahasa Indonesia ya transfer ilmunya akan sulit dan tidak menguntungkan bagi Indonesia,” ujar Nofel.
Sebelumnya, kewajiban berbahasa Indonesia bagi TKA diatur dalam Permenakertrans 12/2013 tentang tata cara penggunaan tenaga kerja asing. Ketentuan tersebut untuk mempercepat alih ilmu dan teknologi dari TKA ke tenaga kerja dalam negeri, sekaligus untuk meminimalisasi benturan budaya akibat kendala bahasa.
Seharusnya, tambah Nofel, aturan Permenakertrans 12/2013 dipertahankan dan diimplementasikan dengan baik. Alih-alih bisa berbicara Bahasa Indonesia, selama ini banyak TKA yang masuk ke Indonesia tidak mengetahui adanya aturan agar mampu berbicara Bahasa Indonesia.
“Sekarang TKA asal Tiongkok sudah banyak masuk, tapi kita ragukan juga kemampuan Bahasa Indonesia-nya. Belum lagi statusnya apakah melalui jalur legal atau ilegal,” kata Nofel.
Menurutnya, TKA dengan upah yang murah sekalipun bisa menjadi ancaman bagi keberlangsungan industri dalam negeri.
“Investor asing bisa saja membawa serta TKA-nya. Memperkecil peluang kerja bagi orang Indonesia tentu, belum lagi jika TKA upahnya murah maka biaya produksi menjadi lebih murah dan daya saing saing kita semakin terpojok,” pungkas Nofel. (rd)