Eramuslim.com – Rezim Jokowi semakin konyol dan ngawur. Belum genap setahun pemerintahannya berkuasa, namun kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia semakin merosot dan meluncur ke jurang kebinasaannya. Yang paling terpukul adalah rakyat kecil. Terlebih nilai kurs rupiah sekarang ini yang mencapai lebih dari Rp.13.000 per dollar AS-nya merupakan nilai tukar paling rendah sejak krisis ekonomi tahun 1998.
Dan untuk kejar setoran terhadap para cukong serta untuk kepentingannya sendiri, rezim ini menggenjot penerimaan pajak dari berbagai sektor yang sangat tidak masuk akal dan terkesan panik. Salah satu yang teranyar, adalah dengan rencana pemerintah memungut bea materai pada transaksi belanja lebih dari Rp 250.000.
Kasubdit Peraturan PPN, Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lain DJP, Oktria Hendrarji, mengungkapkan sejauh ini tidak banyak masyarakat yang mengerti bahwa ada kewajiban tersebut. Beberapa peritel yang tahu pun, kata dia, sengaja tidak memasukkan bea meterai dalam belanja dengan nominal di atas Rp 250.000.
Menurut Oktria, setruk belanja di atas Rp 250.000, seharusnya ada meterai Rp 3.000. Sementara itu, untuk setruk dengan nominal di atas Rp 1.000.000, harus bermeterai Rp 6.000. “Pemungutan bea meterai tidak harus dilakukan melalui meterai fisik, seperti yang biasa ditempelkan dalam dokumen. Pemungutan bea meterai bisa dilakukan lewat komputerisasi, termasuk struk,” tambahnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, DJP Kemenkeu mengusulkan bea materai yang baru maksimal Rp 10.000 dan Rp 18.000. Nantinya, revisi UU tentang Bea Materai, seperti dalam UU sebelumnya, juga akan menyebutkan batasan kenaikan bea materai dari saat ini menjadi Rp 10.000 dan Rp 18.000, melalui Peraturan Pemerintah.
Menanggapi, rencana penetapan meterai pada transaksi belanja, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Pudjianto mengungkapkan kebijakaan tersebut ngawur. Menurutnya, Ditjen Pajak sebaiknya jangan terus berburu di kebun binatang, harusnya berburu di hutan yang masih banyak belum bayar pajak.
Pudjianto mengakui, pihaknya tentu menolak, apalagi tidak ada negara manapun mengenakan biaya bea meterai pada transaksi belanja. “Transaksi belanja konsumen sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen,” ungkapnya.
Ditambahkan Pudjianto, bea meterai selama ini hanya digunakan untuk dokumen penting bersifat perjanjian yang mengikat hukum. Sementara struk belanja tidak perlu memakai kuitansi maupun bea meterai atau dipungut pajak bea meterai. (rz)