Jokowi Bilang Siap Dimaki, Tapi Kok Ajukan Pasal Penghinaan Presiden Kembali?

jokowi-bengongEramuslim.com – Orang jelek kalau dikatakan jelek itu bukan penghinaan tapi kebenaran. Demikian juga jika orang gemblung dikatakan sebagai orang gemblung, itu juga bukan penghinaan, tapi kebenaran. Kalau orang jelek dikatakan ganteng, atau orang gemblung dikatakan cerdas, ya itu baru namanya penghinaan. Tapi mungkin bagi Jokowi itu tidak demikian. Sebab itu, dia pun mengajukan 786 pasal RUU KUHP ke DPR untuk disetujui menjadi KUHP.

Pasal yang diajukan antara lain pasal-pasal tentang penghinaan presiden, yakni Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP. Padahal, pasal-pasal tersebut sudah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006. Pertimbangan Majelis Hakim MK ketika itu, ketiga pasal itu menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan, pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan kepada presiden dan/atau wakil presiden.

Joko sendiri pada 16 Mei lalu pernah mengatakan dirinya siap dimaki-maki. Di depan peserta Jambore Nasional Relawan Jokowi, terkait persoalan ekonomi Indonesia dan harga bahan bakar minyak, perlu ada perubahan dari sikap komsumtif masyarakat. Namun setiap perubahan tidaklah mudah dilakukan begitu saja. Ia pun harus menerima nada negatif dari masyarakat karena perubahan itu. “Perubahan itu pasti dimulai dengan hal-hal yang sakit. Saya tahu, banyak yang maki-maki saya, untuk awal-awal, tapi enggak ada yang hadir di sini. Karena belum tahu arahnya ke mana, saya siap tidak populer, dimaki-maki,” ujar Jokowi.

Jauh sebelum itu, pada 29 Oktober 2014, Sjarifuddin Hasan yang ketika itu masih Ketua Harian DPP Partai Demokrat membandingkan kondisi kebebasan berpendapat di Indonesia antara pemerintahan Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono. “Kalau dulu, Pak SBY, selama 10 tahun, sudah di-bully, gambarnya dibakar, keluarga dihujat, tetapi bisa menerimanya dengan lapang dada,” kata Sjarifuddin. Sementara itu, tambahnya, pemerintah Joko pada awal-awalnya saja sudah tidak seperti zaman SBY mengenai kebebasan berpendapat. Kasus pemuda berinisial MA (23 tahun) yang ditangkap polisi, kata Sjarifuddin, menjadi contohnya.

Ia menegaskan, apa yang diungkap publik melalui beragam media, baik unjuk rasa maupun melalui media sosial, adalah bentuk aspirasi. Pemimpin, katanya, mesti menerima dengan lapang dada. “Kalau Pak SBY, ada yang melapor ke polisi, ya, enggak ada penangkapan. Enak zamanku, toh? Lebih kurang begitulah,” kata Syarief sambil tertawa.(rz/pribuminews)