Eramuslim.com – SEPENUHNYA saya dapat memahfumi luapan amarah para pendukung Ahok terhadap keputusan Menko Kemaritiman, Rizal Ramli, membatalkan pembangunan pulau G sebagai bagian dari reklamasi Teluk Jakarta.
Keputusan Menko Kemaritiman berdasar kesepakatan tiga menteri memang tergolong mengejutkan bahkan kontroversial, apalagi dipandang dari aspek kepentingan investasi yang sedang menjadi primadona Indonesia masa kini. Pembangunan teluk G yang sudah terlanjur dilakukan oleh pengembang atas ijin resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta jelas merugikan pihak pengembang mau pun menggerogoti kewibawaan Ahok sebagai Gubernur Jakarta yang telah memberikan ijin resmi pembangunan bagi pihak pengembang.
Secara legal keputusan Menko Kemaritiman juga bisa dipermasalahkan. Sebab hanya disampaikan secara lisan tanpa didukung dengan surat keputusan resmi apa pun. Maka sepenuhnya dapat dimengerti dan dimahfumi bahwa para pendukung Ahok terutama yang kaliber die hard sudah barang tentu memiliki alasan kuat untuk merasa berang dan melakukan protes terhadap keputusan drastis Menko Kemaritiman.
Yang sangat disayangkan adalah protes yang lepas kendali menjadi hujatan, cemooh bahkan caci maki ditujukan bukan terhadap kebijakan. Namun pribadi Menko Kemaritiman.
Tampaknya demokrasi ditafsirkan sebagai kebebasan menyampaikan pendapat kemudian kebebasan menyampaikan pendapat ditafsirkan lebih jauh sehingga kebablasan menjadi kebebasan melempar hujatan, cemooh, caci maki bahkan penghinaan.
Kebetulan teknologi medsos masa kini memang membuka peluang bagi mereka yang ingin melampiaskan kebencian secara membabibutatuli tanpa kendali etika.
Mengenai hujatan yang terlalu keji tidak layak dibahas melalui media terhormat ini. Saya cukup menanggapi satu di antara sekian banyak sinisme yang diungkapkan oleh para pendukung setia yang siap mendukung Ahok sampai titik darah penghabisan. Yaitu pertanyaan mengenai bukan keputusan Menko Kemaritimanan namun apa yang sebenarnya sudah pernah dikerjakan oleh Rizal Ramli.
Sebenarnya pertanyaan tersebut sudah langsung menjadi tidak relevan. Sebab bukan terkait pada keputusan yang dipermasalahkan. Namun mengenai apa yang sudah pernah dikerjakan oleh sang pembuat keputusan yang dipermasalahkan.
Tampaknya masih banyak pihak belum mampu membedakan antara profesionalisme dengan personalisme. Maka mencampuradukkannya menjadi suatu zat yang tidak karuan jelas jenisnya. Pertanyaan campuradukisme tersebut juga menjadi tidak relevan. Sebab berarti mempertanyakan kebijakan Presiden Gus Dur sampai kok bisa-bisanya mengangkat seorang yang tidak jelas kinerja terhadap negara dan bangsa menjadi Menko Bidang Perekonomian. Maupun kebijakan Jokowi, kok bisa-bisanya sempai ngawur mengangkat RR menjadi Menko Bidang Kemaritiman.
Apabila keputusan tentang dua jabatan tertinggi dalam kabinet tersebut masih dipertanyakan, berarti yang bertanya itu mempertanyakan kapasitas dan kredibilitas kemampuan Gus Dur dan Jokowi untuk memilih the right person on the right position on the right time .
Apabila sang penanya masih nekad mempertanyakan apa yang telah dikerjakan oleh RR, maka dengan penuh rasa hormat saya mempersilakan sang penanya untuk bertanya kepada rumput bergoyang. Apabila ternyata rumput bergoyang pun tidak mau atau tidak mampu menjawab pertanyaan tidak relevan itu, maka saya anjurkan kepada sang penanya untuk sebaiknya berhenti mempertanyakan apa yang telah dikerjakan RR untuk mengalihkan fokus pertanyaan pada apa alasan Menko Kemaritiman membatalkan reklamasi pulau G saja.
Apabila jawaban Menko Kemaritiman tidak memuaskan sang penanya, maka sebaiknya merubah peran diri dari penanya menjadi penganjur. Kemudian sang penganjur sebaiknya segera menganjurkan agar Ahok segera menuntut RR ke pengadilan selama Ahok meyakini bahwa dirinya tidak bersalah dalam mengeluarkan ijin reklamasi Teluk Jakarta termasuk pulau G.
Saya pribadi sempat menanyakan kesiapan RR dituntut ke pengadilan. Ternyata beliau tegas menjawab: “SIAP!”. [***]
Penulis adalah budayawan pembelajar keadilan