Eramuslim.com – Direktur Eksekutif Pusaka Trisakti, Fahmi Habsyi, punya pandangan lain soal kerusuhan di Kabupaten Tolikara, Papua, sehingga berdampak pada terbakarnya sebuah musola pada Jumat pagi (17/). Menurut dia, disinyalir, peristiwa tersebut merupakan bagian dari operasi intelijen. Karena, kehidupan beragama di Bumi Cenderawasih selama ini sangat baik. “Ini murni operasi intelijen tingkat tinggi. Masyarakat Papua sangat santun dan toleran soal beragama dan merasakan kebijakan dan hati Pak Jokowi yang fokus pada keberpihakan pada kesejahteraan masyarakat Papua,” katanya di Jakarta, Sabtu (18/7).
Menurut Fahmi, indikasi adanya operasi intelijen dalam insiden Tolikara terlihat dari rangkaian peristiwa beberapa aksi sepihak yang menuntut referendum Papua di Jakarta. “Jadi, dua minggu lalu, saya sudah dapat informasi akan ada eskalasi meningkat di Papua. Tanda-tandanya tampak. Tapi, informasi dan letupan kecil tersebut tidak segera diantisipasi pihak intelijen kita dan aparat keamanan,” ujar Fahmi.
Ia mengingatkan, situasi di Papua tidak bisa dilihat berdiri sendiri dari apa yang digerakkan di Jakarta. “Kita harus gunakan pendekatan helicopter view, jangansimptomian per kejadian. Nanti terlihat otaknya siapa yang mendanai, memprovokasi, dan menggerakkan. Operasi intelijen ini seperti tukang bakarnya tidak terlihat, tapi asap dan baunya terasa. Yang harus dijadikan analisis pertama dalam melihat setiap insiden di Papua, adakah pihak-pihak yang terganggu kepentingannya dengan kebijakan Jokowi di Papua saat ini. Siapa yang paling khawatir Papua lebih baik dan lebih maju? Setelah itu, petakan,” tutur Fahmi.
Ia menyayangkan sikap aparat keamanan dan intelijen yang seharusnya memantau gerak pihak-pihak tersebut, bukan sibuk mengawasi masyarakat Papua. Jika sudah seperti ini, masyarakat Papua yang muslim dan non-muslim yang jadi korban. “Ini melibatkan intelijen asing dan seorang tokoh intelijen berpengaruh di era SBY. Otaknya di Jakarta. Tapi, apakah ada buktinya? Susah untuk ditunjuk aktor intelektualnya. Cukup Jokowi kasih ‘pesan politik’ yang jelas dan tegas kepada yang coba bermain di Papua bahwa presiden mengetahui dan akan gebuk balik. Saya sarankan aparat keamanan perlakukan rakyat Papua dengan lembut dan persuasif,” ujarnya.
Pembentukan tim mediasi atau tim dialog, menurut Fahmi, tidak perlu dilakukan. Karena, masalahnya bukan masyarakat Papua, tapi kekuatan lain lebih dari itu. Lingkaran Istana Presiden tampaknya, katanya lagi, tidak memberikan informasi utuh kepada Presiden Joko. “Ada pihak yang mencoba buat ‘penyakit’ dan sekaligus menawarkan ‘obatnya’ dengan kepentingan yang lain untuk dikompromikan. Ini gaya lama. Mudah-mudahan saja Pak Jokowi sudah tahu kok siapa otaknya. Atau memang tidak ada yang mengingatkan dan menginfokan ke Pak Jokowi untuk waspada situasi Papua setelah aksi meminta referendum. Jangan dianggap remeh, ingat kasus kerusuhan Ambon 1999 hanya perkelahian pemuda di terminal, yang di Papua lebih serius dari itu,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga sempat mempertanyakan kerja Badan Intelijen Negara (BIN), yang kini dipimpin Letjen (Purn) Sutiyoso, yang tidak dapat mengantispasi Tragedi Tolikara. Seharusnya, kata Tjahjo, sistem peringatan dini BIN bekerja sehingga peristiwa itu dapat diantisipasi.(rz/pribuminews)