Eramuslim – Krisis 98 memicu demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran yang memaksa Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Padahal ketika itu hanyalah krisis moneter. Bandingkan dengan saat ini tidak hanya krisis moneter, tapi juga keuangan dan ekonomi.
“Parahnya lagi diaduk dengan perang kurs (curency war) dan perang dagang (trade war). Ibarat gempa, krisis ini sumber guncangannya lebih banyak yakni gempa tektonik yang bersamaan gempa vukanik,” ujar pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng dalam keterangan pers yang diterima Kantor Berita RMOL, Jumat (7/9).
Daeng menilai, kondisi ekonomi Indonesia sebelum krisis 98 relatif baik. Hal itu karena utang pemerintah relatif kecil yakni 50 miliar dolar AS, neraca perdagangan positif, neraca migas positif, BUMN masih sehat, aset pemerintah dan BUMN banyak, pertumbuhan ekonomi juga tinggi, tingkat ketimpangan ekonomi relatif rendah, dan lain sebagainya.
“Masalahnya 98 cuma satu utang swasta khususnya sektor perbankan. Mereka tidak bisa bayar utang. Terjadilah rush, pemerintah dipaksa menanggung utang swasta yang membengkak oleh curency yang dihajar asing,” terangnya.
Situasinya berbeda dengan sekarang, krisis hampir di semua lini. Buktinya transaksi berjalan negatif, neraca migas negatif, neraca jasa negatif, neraca pendapatan primer negatif besar, utang swasta besarnya sama dengan utang pemerintah, utang BUMN sangat besar karena dipaksa berhutang dan menumpuk uang utang.