Jaksa Agung Abdurrahman Saleh berjanji akan menyita aset-aset di tujuh yayasan yang pernah dipimpin oleh mantan Presiden Soeharto.
Penyitaan aset itu akan dilakukan setelah Kejagung tidak bisa menyentuh dan menghadirkan mantan penguasa Orde baru itu ke sidang pengadilan karena tim dokter sudah memutuskan jika Soeharto tidak mungkin lagi sembuh, sehingga harus dikeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan dan Pemeriksaan (SKP3).
“Kami secara perdata akan berusaha menyita aset Soeharto di tujuh yayasan. Kita akan bergerak untuk investigasi, kemudian melakukan gugatan terhadap aset-aset tersebut mana yang akan disita,” janji Abdurrahman Saleh menjawab wartawan ketika Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan PAH I DPD RI yang dipimpin oleh Ketua PAH I DPD RI Muspani dan Wakil Ketua DPD RI Laode Ida, di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Selasa (23/5).
Menurutnya, pengeluaran SKPP itu juga berpegang pada keputusan Mahkamah Agung (MA) jika Soeharto tidak mungkin lagi bisa diadili atau disidangkan. Keputusan MA itu sebagai putusan hukum tertinggi dan Kejagung mematuhi. Untuk itu tidak mungkin Soeharto disidangkan secara absentia.
“Pak Harto itu kata MA juga tidak bisa mengingat nomor rumahnya sendiri, tidak mengenali gambar atau simbol-simbol sederhana, apalagi surat-surat terkait yayasan dan lain-lainnya. Jadi Kejagung bisa terima alasan hukum MA tersebut,” kata Abdurrahman Saleh.
Ia membantah tuduhan Wakil Ketua DPD RI laode Ida jika keluarnya SKPP Soeharto itu lebih disebabkan kemauan Presiden SBY, karena sebelum SKPP itu dikeluarkan, Kejagung bersama petinggi lembaga negara ini bertemu dengan SBY—JK di Istana Negara.
“Kejagung lebih tunduk kepada SBY daripada hukum. Sehingga tidak ada upaya menegakkan hukum secara reformatif,” tuding Laode Ida.
“Itu tidak ada kaitannya dengan pertemuan yang dihadiri semua pimpinan lembaga tinggi negara, yang benar adalah presiden ingin tahu tentang kasus Soeharto itu sehingga perlu sharing. Setelah itu terserah presiden mau mengambil keputusan apa. Apakah grasi, amnesti, abolisi, atau rehabilitasi. Tuduhan itu lebih politis daripada yuridis," sambung Kejagung.
I Wayan Sudirta anggota PAH I DPD RI asal Bali juga kecewa dengan keluarnya SKPP tersebut. Ia khawatir SKPP dan janji Kejagung untuk menyita aset Soeharto itu hanya untuk menghibur rakyat. Padahal secara yuridis Pak Harto itu bisa diadili secara in absentia (tidak hadir) di persidangan. Namun kata Kejagung, ”Tetap tidak bisa. Karena syarat utamanya adalah terdakwa harus membela diri. Sementara Pak Harto tidak bisa apa-apa lagi. Sehingga keputusan akhir adalah mengeluarkan SKP3, “ imbuhnya. (dina)