Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menuai protes keras dari anggota Komisi III DPR terkait ketidaksanggupan kejaksaan untuk menyelidiki kasus penghilangan secara paksa 13 aktivis pada tahun 1997—1998 di era reformasi menjelang lengsernya rezimSoeharto.
Jaksa Agung menyatakan, pihaknya baru bersedia melakukan penyelidikan jika sudah dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Kontan, pernyataan Arman, demikian Abdul Rahman Saleh disapa, dinilai hanya normatif.
Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbun (FPDIP) menyatakan, Kejagung harus melakukan penyelidikan setelah Komisi Nasional (Komnas) HAM melakukan penyelidikan dengan baik dan bisa dipertanggungjawabkan. “Kejagung jangan terlalu normatif membaca UU, ” kata Gayus dalam Raker Komisi III DPR dengan Kejagung dan Komnas HAM di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Senin (5/3).
Menurutnya, setelah ada rekomendasi dari Komnas HAM, maka DPR berkewajiban untuk merespons. Karena itu Kejagung harus menyelidiki temuan Komnas HAM tersebut. Anggota Komisi III menyayangkan perbedaan tafsiran dari pasal 43 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM ad hoc.
“Saya secara pribadi tidak setuju dihentikan, karena ini sudah direncakanan dan Jaksa Agugn sudah diundang, jangan karena permintaan orang, rapat lalu dihentikan, ” tandas dia.
Hal serupa juga disampaikan anggota Komisi III F-KB Nursyahbani Katjasungkana dan anggota F-PDIP Panda Nababan.
Raker kali ini dipimpin Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan, dan dihadiri juga Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara, aktifis Kontras, Imparsial. (dina)