Iuran BPJS Kesehatan Tetap Naik, sebab Jokowi Tak Terbitkan Perpres

Mempertanyakan Niat Pemerintah

Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar mengatakan tekanan bagi BPJS dan pemerintah untuk segera merampungkan sebetulnya terus bertambah. Pasalnya, salinan putusan sudah diumumkan pada situs resmi MA per 31 Maret 2020. Dalih pemerintah belum menerima putusan sudah tak dapat dipakai lagi.

Di samping itu, putusan MA sudah berlaku secara yuridis sejak tanggal penetapan, meski praktiknya tarif yang dibayarkan tetap versi naik 100 persen.

Pada akhirnya, ia menilai penurunan iuran BPJS Kesehatan tergantung niat baik pemerintah, sebab toh tak ada konsekuensi apa pun bila perpres baru terbit lambat.

“Ini harus didorong karena kewajiban Presiden, apa pun keadaannya. Atau sama saja (Presiden) tidak peduli hukum dan masyarakat,” kata Ficar kepada reporter Tirto, Sabtu (4/4/2020).

Perpres baru, kata Fickar, harus menyatakan keberlakuannya sejak tanggal MA membatalkan Perpres 75/2019. Di dalamnya juga harus mengatur dasar BPJS mengembalikan kelebihan bayar selama masa tunggu perpres baru terbit.

Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menilai situasi ini memperburuk kondisi masyarakat saat tengah bergulat dengan pandemi COVID-19. Saat ini banyak orang kehilangan pendapatan karena di-PHK atau tidak mendapat uang karena berstatus buruh harian–misalnya ojek online. Sementara ketika mereka tidak bisa bayar, maka status keanggotaannya otomatis dinon-aktifkan. Bila terpaksa menggunakan layanan, mereka juga masih diganjar denda telat bayar.

“Harusnya pemerintah punya empati lebih dalam. Kalau orang, terutama pekerja informal, enggak bisa bayar gimana?” ucap Timboel kepada reporter Tirto, Jumat (3/4/2020). “Kasihan pekerja informal di kelas mandiri,” tambahnya. Ia juga mengatakan meski BPJS Kesehatan menjanjikan bakal mengembalikan kelebihan bayar, kabar itu bak isapan jempol karena tak bisa jalan tanpa perpres baru.