3. Keluarnya darah haidh.
Bila seorang khuntsa mengeluarkan darah haidh dari kemaluannya, maka dikatagorikan perempuan, karena laki-laki tidak akan keluar darah haidh dari kemaluanya. Jika ia mengeluarkan darah haidh dari vagina, tetapi dia mengeluarkan kencing dari alat kelamin laki-laki, maka dalam hal ini dikatagorikan sebagai khuntsa musykil.
4. Kehamilan dan melahirkan.
Bila seorang khuntsa hamil dan melahirkan, maka dihukumi sebagai perempuan.
5. Pertumbuhan organ tubuh.
Bila waria tersebut ia berkumis atau berjenggot, serta mempunyai kecenderungan untuk mendekati perempuan dan mempunyai raca cinta kepada mereka, maka waria tersebut dihukumi sebagai laki-laki. Sebaliknya jika payudaranya tumbuh dan montok, dan mempunyai kecenderungan dan rasa cinta kepada laki-laki, maka dia ditetapkan sebagai perempuan. (Ibnu al Hammam, Fathu al Qadir : 10/515-516, al Mawardi, al Hawi al Kabir : 8/ 168 )
Dari keterangan di atas, kita mengetahui bahwa Islam pada dasarnya tidak membiarkan seorang khuntsa begitu saja tanpa status, sehingga diambil langkah-langkah untuk menentukan jenis kelaminnya melalui cara-cara di atas. Jika para ulama dan ahli sudah menentukan seorang khuntsa, baik sebagai laki-laki maupun sebagai perempaun, maka status tersebut berlaku baginya untuk mendapatkan hak-haknya, sekaligus dia mempunyai kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana orang laki-laki atau perempuan yang lainnya.
Kedua : Khuntsa Musykil
Khuntsa Musykil ( khuntsa yang sulit ditentukan statusnya ), yaitu seseorang yang ditaqdirkan Allah mempunyai memiliki fisik yang mendua atau memiliki dua jenis alat kelamin ; laki-laki dan perempuan, dan kedua-duanya sama-sama dominan, tidak bisa dibedakan lagi mana yang lebih berpengaruh terhadap kepribadiannya.
Untuk Khuntsa Musykil seperti ini, para ulamapun masih berbeda pendapat akan statusnya, tertutama di dalam menentukan jatah warisan, cara menikah dan lain sebagainya.