Intervensi Asing Masih Menghantui Sistem Hukum di Indonesia

Sistem hukum yang berlaku di negara berkembang umumnya belum berpihak kepada masyarakat miskin, hal itu juga terjadi di Indonesia banyak hukum di tanah air yang tidak berpihak kepada kaum dhuafa, melainkan hanya mengutamakan kepentingan kelompok kapitalis.

Sebagai contohnya UU Migas yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagian ahli berpendapat keberadaan UU itu hanya membawa keuntungan pihak-pihak asing, sedangkan disisi lain membawa dampak negatif bagi masyarakat di dalam negeri. Kondisi sebagai salah satu pemicu yang menyebabkan angka kemiskinan terus meningkat.

"Saya mengusulkan adanya pembaharuan hukum yang lebih berpihak kepada kaum miskin, namum muncul kendala ketika kita ingin berupaya memperbaiki hukum agar lebih berpihak kepada kaum miskin, justru kemudian muncul intervensi dari negara-negara adikuasa kepada negara dunia ketiga ini, "kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin ketika ditanyai tentang usulan kongkritnya kepada Komisi PBB tentang Legal Empowerment for the Poor.

Sebelumnya, Dirinya bersama tokoh agama lain dimintai pandangannya tentang perspektif Islam dan pengalaman Ormas Islam Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan secara hukum kaum miskin, dalam pertemuan di Newyork, beberapa hari lalu.

Meski sebelumnya, Din sempat mengkritik PBB yang kurang bernuansa agama dan menempatkan agama sebagai instrumen strategis untuk merealisasikan agenda-agendanya. Ia menilai, langkah yang diambil oleh komisi itu menjadikan agama tokoh agama penting dalam pemberdayaan hukum bagi kaum miskin, merupakan cara yang patut dihargai.

"Kita prihatin kemiskinan jumlah semakin banyak, perlindungan hukumnya juga lemah. Selain itu tidak ada upaya pengentasan kemiskinan dalam pengertian menyediakan lapangan pekerjaan, program yang ada terlalu bersifat cerity, dan tidak banyak menyelesaikan masalah, "jelasnya usai jumpa pers, di Sekretariat CDCC, Jakarta, Jum’at(8/2).

Din menegaskan, kemiskinan yang terjadi di Indonesia tidak semata-mata karena faktor kultural, namun diakibatkan faktor struktural dari sisi kebijakan yaitu sistem ekonomi kapitalistik, yang mengandalkan pertumbuhan industrialisasi akhirnya lahan pertanian habis dan celakanya para petani hanya bisa menjadi buruh tani dan terjerat pada rentenir.

"Pemerintah harusnya dapat memotong mata rantai ini, saya kira mudah bagi negara kalau mempunyai keinginan, "imbuhnya. (novel)