Pergumulan intelektual di Barat dimulai tahun 1898. Saat itu ada seorang perwira berpangkat kapten ‘keturunan Yahudi dipecat dari dinas ketentaraan Perancis karena dicurigai bekerja sebagai mata-mata pihak asing. Namanya Albert Dreyfus.
Kasus Dreyfus inilah kemudian menjadikan masyarakat Prancis terbelah dua; yang membela dan yang mengutuk. Yang mengutuk Dreyfus disebut oleh yang pertama sebagai anti-semit atau rasis dan pembela Dreyfus disebut sebagai les intellectuels dan déracinés oleh yang kedua. Di antara pembelanya seperti Emile Zola (1840-1902), Emile Durkheim (1858-1917) dan Anatole France (1844-1924), sedang yang mengutuk adalah seperti Maurice Barrés (1862-1923) dan Fedinand Brunetiére.
”Nah, dari kasus inilah kemudian sebutan intelektual lebih merupakan cap hinaan dari pada sanjungan. Hal itu berlaku tidak hanya di Perancis, tapi juga di Inggris dan Amerika, ” ujar Dr. Syamsuddin Arif, dosen International Islamic University (IIU) Malaysia.
Menurutnya, ada beberapa teori intelektual. Ia memulai dengan teori intelektual ala Julien Benda (1867-1956). Lewat buku monumentalnya, La Trahison Des Clercs (1927), Benda memberi beberapa catatan tentang intelektual. Di antaranya, seorang intelektual adalah pejuang kebenaran dan keadilan, tekun dan menikmati bidang yang digelutinya, tidak ditunggangi ambisius materi dan kepentingan sesaat, berani keluar dari sarangnya untuk memprotes ketidakadilan dan menyuarakan kebenaran, walau mahal resikonya, dan oleh itu ia tidak takut penjara atau hidup susah. Singkatnya, sosok-sosok semacam Socrates, Yesus, dan Spinoza adalah profil yang sangat pas bagi Benda.
Tapi menurut Edward Said (1935-2003) dan Ernest Gellner (1925-1995), teori Benda terlihat sangat elitis, mengawang-awang. Lain halnya dengan seorang sosiolog Régis Debray yang lebih praktis dan dinamis. Ia membagi tiga generasi intekletual. Pertama, 1900-1930, terdiri dari para pengajar (teachers) yang membela Dreyfus, seperti Émile Zola, Émile Durkheim dan Anatole France.
Kedua, 1930-1960, diwakili oleh para penulis (writers; novelist, essayist). Dan, ketiga, dari tahun 1960-sekarang, mereka yang disebut sebagai “Cendekiawan Selebritis”, yang suka tampil di media massa, yang punya pesona, sensasional dan ingin terkenal dan mengabaikan standar keilmuan dan kejujuran. Seorang Jean Francois Sirinelli pun merasakan fenomena generasi ketiga ini, seraya ia berteriak lantang, “Faut-il sonner le glas des intellectuals?”, atau “Apakah intelektual kini sudah tiba ajalnya?”
Lain lagi dengan pandangan Antonio Gramsci (1891-1937), yang membagi intelektual menjadi dua macam; intelektual “tradisional” dan intelektual “organik”. Intelektual yang pertama adalah mereka para tokoh agama, guru/dosen, birokrat, dan seperti mereka inilah profil intelektual yang tidak membumi, hidup dalam ilusi dan utopia. Sedangkan yang kedua adalah intelektual yang aktif, tidak pernah diam, senantiasa berbuat sesuatu untuk masyarakatnya. Mereka ini always on the move, on the make, ” tegasnya.
Karena intelektual di Barat tidak bisa lepas dari istilah intelligentsia. Untuk mengetahui asal-usul kata ini, perlu dikroscek ke negara asal pemproduksi istilah ini. Ternyata ia berasal dari Polandia dan Russia. Di Polandia, inteligentsia adalah para lulusan sekolah, minimal sekolah menengah, dan yang mengerti sejarah Polandia. Mereka ini yang disebut mature (dewasa), lebih layak memimpin dan mengelola negara ketimbang kaum borjuis yang tidak punya idealisme dan suka korupsi.
Sementara di Russia, intelligentsia adalah orang-orang bangsawan yang mengambil jarak dari kaum borjuis kapitalis dan merasa terpanggil untuk memanggil bangsa. Kelompok inilah yang kemudian dijuluki ‘slavophile’ karena merekalah yang menuntut penghapusan feodalisme dan tsarisme, menghendaki perombakan total sistem politik, ekonomi dan sosial. Kelompok ini sempat eksis setelah Tsar digulingkan pada revolusi Oktober 1917, setelah kemudian ditumpas habis oleh Stalin.
Sedangkan di Inggris dan Amerika, istilah intelektual mempunyai konotasi negatif. Bagi masyarakat Inggris, intelektual itu sebutan bagi orang-orang yang irrasional, egois, ‘sok pintar’. Bahkan seorang sekretaris luar negeri di masa PM Margaret Thatcher, Sir Geoffrey Howe, menyifati Salman Rushdie (penulis buku “Ayat-ayat Setan”) sebagai ‘arrogant’, ‘a dangerous opportunist’, dan ‘a multiple renegade’. Lebih jauh lagi, Paul Johnson, dalam bukunya, Intellectuals (1988), mengutuk kalangan inteletual dengan menyatakan, “no wises as mentors, or worthier as exemplars, than the witch doctors or priest of old” atau ‘tak layak jadi teladan. ’
Melihat akar sejarahnya, Syamsuddin, yang juga doktor jebolan Universitas Frankrut, Jerman, memberikan beberapa karakter penting intelektual di Barat. Yakni: non-committal, tak terikat dari segi ide; independent, tak terikat dari segi aksi; non-sectarian, untuk semua golongan; non-partisan, tidak memihak; non-conformis, pantang menyerah; rebellion, cenderung memberontak; oppositional, menentang arus; dan dissident, berani berbeda; resistent, menunjukkan perlawanan. Lalu bagaimana dengan intelektual di dalam Islam?
Intelektual Islam
Istilah “intelektual” dikenal baru-baru ini saja di dunia Islam. Menurutnya, istilah ini mengimpor dari peradaban lain, seperti halnya “falsafah”. Oleh karena itu mesin worldview Islam bermain di sini. Istilah ini, “intelektual”, dengan konteks masyarakat Barat yang sudah disebut di atas, tidak boleh dipindah begitu saja ke dalam Islam.
“Itu tidak bisa. Selama ini, cendekiawan- cendekiawan muslim di Indonesia sangat memaksakan penggunaan istilah itu dengan segala motifnya. Sebagai contoh, ketika muncul kasus Ahmadiyah, tampillah pembela Ahmadiyah atas nama kaum intelektual dan membela atas nama HAM. Nah itu baru contoh kecil penggunaan istilah itu yang sangat dipaksakan.
Contoh lainnya, ketika kalangan modernis atau liberalis dengan lantangnya menggugat otoritas Al-Quran, Hadits, ulama, dll. Mereka mengatasnamakan intelektual. Nah itu sikap yang sangat Barat dan tidak bijak serta terburu-buru menggunakan istilah asing. ”
Kalau diperhatikan, ada makna universal dalam istilah intelektual, seperti ‘memperjuangkan keadilan dan kebenaran’, ‘pendirian kuat’, ‘tidak mudah terbawa arus’, dan lainya. “Makna universal ini ada di mana-mana, tidak saja di Barat. Masalahnya adalah ketika makna universal diterapkan ke dalam partikular. Seperti menentang arus dalam konteks di dunia Kristen tidak akan sama kasusnya dengan menentang arus dalam konteks di dunia Islam, ” paparnya.
Ia menegaskan, membela kebenaran dalam konteks dunia Barat tidak sama dengan membela kebenaran dalam konteks dunia Islam. Dengan demikian, dengan melepaskan makna partikulernya dan mengambil makna unversalnya, maka pemateri mengajak melihat makna-makna universal itu dalam Islam. “Ternyata, cendekiawan dan intelektual sejati itu dalam Islam adalah para Nabi dan penerusnya, waratsat al-Ambiya’ (pewaris para nabi) dan penerus risalah profetis, ” imbuhnya.
Intelektual Profetik atau Diabolik
Intelektual dalam khazanah Islam mempunyai dua tipe, mengikut sejarah dan konteks keIslaman, yaitu (1) intelektual profetik; dan (2) intelektual diabolik. Intelektual profetik adalah para nabi dan waratsat al-ambiya’, pewarisnya. Merekalah para pembela kebenaran, sebagaimana kebenaran yang terkonsep dalam al-Quran. Sedangkan cendekiawan diabolik adalah iblis dan para pengikutnya.
Kalau diamati lebih jauh, karakter Iblis sangat pas dengan ciri intelektual di Barat. Ia tidak mau terikat dengan aturan Allah (non-committal, independent), tidak mau menyerah (non-conformis), memberontak (rebellion), menentang arus (oppositional), dll. Yang menyatu dalam kata “takabbur”.
Contoh-contoh cendekiawan diabolik ini sangat banyak sekali dalam sejarah. Sepeti Kan’an putra nabi Nuh yang menolak naik ke atas perahu, Haman sebagai the intellectual in the service of tyrant, Fir’aun, Musa Samiri sebagai cendikiawan yang membuat tuhan dari patung lembu, kaum kuffar dari ahlu kitab di zaman Nabi Muhammad sebagai para-pakar yang kafir, dan lain sebagainya.
Sedangkan contoh cendekiawan profetik adalah seperti para nabi, sahabat, ulama. Dari para nabi sebut saja Nabi Ibrahim yang menentang kuasa Namrudz. Nabi Luth juga intelektual yang menentang arus kaumnya yang mayoritas lesbi dan guy.
Dari kalangan sahabat, Abu Darda’ disebut sebagai intelektual yang berani mengatakan kebenaran dengan lantang di depan Muawiyah, penguasa waktu itu. Dari kalangan ulama, seperti Hasan al-Basri, Imam Syafii, Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad bin Hambal, dll, dan di Indonesi seperti HAMKA, Syeh Yusuf Al-Makasari, Muhammad Natsir, di mana mereka berani mengeraskan suara kebenaran dan merelakan risiko yang terus mengancam.
Dengan demikian, intelektual dalam Islam cukup dikenali dengan tiga cirinya. Pertama, ia tidak ada rasa takut menyuarakan kebenaran (la khaufun alaihim wa la hum yahzanun). Kedua, tidak ditunggangi kepentingan- kepentingan pribadi, kelompok, partai dan lain-lain (la yas alukum alaihi ajran wahum muhtadun). Ia hanya ditunggangi kepentingan misi Tuhannya. Ketiga, ia adalah agent of change/agen perubahan, dan bukan subject of change/yang dirubah oleh lingkungannya. (dina)