Eramuslim.com – Selain menemukan fakta di lapangan TPF yang dibentuk oleh KOMAT (Komite Umat ) untuk Muslim Tolikara Papua juga menemukan sejumlah data.
Pertama, masalah perizinan
Berdasarkan informasi dari Kapolres, kegiatan Seminar dan Kebaktian Kebangkitan Ruhani (KKR) Pemuda GIDI sudah lama direncanakan. Namun, sampai 1 bulan sebelum acara, Intel Kam Polres belum menerima surat izin keramaian dari panitia pelaksana kegiatan Seminar dan KKR Pemuda GIDI. Padahal, kata Kapolres, acara ini akan menghadirkan tamu asing. Semestinya, izin harus datang dari Intelkam Mabes Polri diteruskan kepada kepolisian terkait.
Pada tanggal 6 Juli 2015, Kapolres memanggil wakil ketua pelaksana,Yakob Jikwa. Selanjunya Kapolres menanyakan soal izin keramaian yang belum juga masuk ke Polres. Kapolres juga meminta visa orang asing dan KTP panitia penyelenggara.
Yakob Jikwa mengatakan sudah diurus oleh panitia tingkat propinsi. Kapolres mengecek ke Dir Intelkam Polda Papua, namun diketahui belum ada surat izin yang diajukan oleh panitia.
Kapolres mengaku kebingungan landasan Polres memberikan pengamanan. Akhirnya, pada tanggal 13 Juli 2015, Kapolres memerintahkan Wakapolres dan Kasat Binmas mendatangi sekretariat panita menanyakan soal izin keramaian dan permintaan pengamanan. Kata Kapolres, kalau tak bisa, buatkan saja konsepnya dan suruh panitia melakukan tandatangan.
Wakapolres melaporkan, bahwa panitia sedang mengonsep surat. Sebenarnya, kata Kapolres, Kapolres tidak punya kewenangan dalam memberikan izin. Tapi kondisinya di Tolikara, kata Kapolres, manusia sudah penuh untuk mengikuti kegiatan tersebut. Diperkirakan peserta mencapai 2000 orang, namun jika ditambah masyarakat yang ingin menyaksikan bisa mencapai 4000 orang.
Kedua, terkait Sertifikat Tanah
TPF mendapatkan foto sertifikat tanah yang menjadi lokasi pembangunan Masjid Baitul Karim. Dalam sertifikat hak milik bernomor 26.03.09.02.1.00797 tersebut diketahui bahwa nama pemilik yang tercantum adalah MASRUN. Sertifikat dengan Daftar Isian 208 No 264/1991 ini dalam keterangan surat ukur memiliki luas 509 m2.
Ketiga, tentang Pengecatan Rumah /Kios dengan Warna Bendera Israel
Ali Usman, pedagang sembako yang kiosnya terbakar mengatakan bahwa terdapat surat edaran dari GIDI yang berisi kewajiban agar mengecat kios-kios dengan warna putih biru seperti motif warna bendera Israel. Dalam surat itu, kata Ali Usman, pedagang yang tidak mengecat kiosnya dengan warna tersebut akan diusir dari Tolikara. Sementara itu, TPF juga menemui seorang pedagang asal Sulawesi yang mengatakan, jika tidak mengecat kiosnya dengan warna tersebut akan didenda uang sebesar Rp 500.000,-.
Dengan ditemukan sejumlah fakta tersebut TPF kemudian memberikan sejumlah kesimpulannya,
Kesimpulan Lapangan Soal Insiden Tolikara
Pertama. Insiden Tolikara sama sekali bukan kasus kriminal biasa. Dan bukan kasus spontanitas. Namun ditengarai ada upaya untuk menciptakan dan mengusik kehidupan beragama secara sistematis. Faktanya massa yang mengepung jamaah shalat Ied berasal dari tiga titik, dan ada suara-suara yang mengomando penyerangan.
Kedua. Insiden Tolikara termasuk pelanggaran HAM berat, karena Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) menghalangi umat beragama lain untuk melakukan ibadah dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya.
Ketiga. Presiden Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) patut dijadikan tersangka, karena tidak mengindahkan dan abai terhadap peringatan yang dilakukan olehKapolres, sehingga insiden yang melukai umat muslim ini terjadi.
Keempat. Faktanya, massa Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) yang berkumpul telah melakukan teror dengan melakukan pelemparan baik secara langsung kepada jamaah sholat Ied ataupun dengan melemparkan batu ke atap seng kios yang membuah suara gaduh untuk membubarkan sholat Ied.
Kelima. Faktanya, pembakaran dimulai dari rumah Ketua DKM, Sdr Sarno, yang jaraknya terhitung sangat dekat dengan masjid, yang hanya 20 meter.
Keenam. Lahan Masjid Baitul Muttaqin memiliki sertifikat resmi. Ini mematahkan anggapan bahwa masjid ini berdiri di atas tanah ulayat.
Sedangkan terkait GIDI, TPF juga memberikan kesimpulannya,
Pertama. LembagaGereja Injili Di Indonesia (GIDI) bukan sekadar sinode. Gereja Injili Di Indonesia telah mengeluarkan surat edaran yang melarang umat Islam untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan Muslimah memakai jilbab. Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) juga berafiliasi ke Israel dengan bukti warga Tolikara dipaksa mengecat rumah dengan gambar bendera Israel dengan ancaman denda hingga pengusiran. Menghadirkan simbol-simbol asing yang dilakukan GIDI ini telah melukai rasa bernegara NKRI.
Kedua. Surat Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) adalah asli/ otentik dan ada. Sehingga harus diusut apa maksud dan motif GIDI. Polisi harus memeriksa dan menjadikan tersangka penanda tangan surat tersebut.
Ketiga. Patut diduga dua pendeta penandatangan surat GIDI adalah aktor intelektual di balik bencana sosial Tolikara.
Keempat. Seminar Internasional KKR tidak berizin, padahal dihadiri lebih dari 2.000 peserta, di antaranya dari Israel, Belanda, dan Papua Nugini.(rz)