Hingga kini, Boy Giadria masih ditahan dan dikenakan pasal 170 tentang tindak kekerasan dan 335 ayat 1 tentang kekerasan dan pemaksaan dengan ancaman 5 tahun pidana. Hal itu atas pengaduan/pelaporan pihak pemilik toko obat.
“Anggota FPI yang selama ini telah berjasa ikut menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) serta menjadi whistleblower kepada aparat kepolisian, bukannya dihargai, malah diperlakukan biadab; ditangkap, dipidana dan dijebloskan ke dalam penjara,” ungkapnya.
“Polisi salah sasaran dan tidak cermat mempidanakan anggota FPI, Boy Giadria dengan tuduhan kekerasan atau merusak barang,” lanjutnya.
Padahal, ungkap Aziz, dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 111 menjelaskan, dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum wajib menangkap tersangka guna diserahkan berserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik.
“Jika Undang Undang telah mengatur demikian, kenapa polisi mengada-ada dengan menuduh anggota FPI melakukan pelanggaran hukum dengan tuduhan sweeping,” tanyanya heran.
Bila perkara ini dibiarkan, lanjut Aziz, ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakkan hukum di Indonesia ke depannya. Sebab bila ada pelaku kriminal, seperti pengedar narkoba, maling, copet, begal atau perampok yang melakukan tindak kejahatan, lalu tertangkap tangan, pelaku kriminal itu bisa menuntut balik dengan pasal karet dengan dalih perbuatan tidak menyenangkan, persekusi, pemaksaan, pengancaman dan lain-lain.
“Fitnah yg keji, polisi jauh lebih mendengarkan 2 penjual obat beserta 1 pemiliknya drpd masyarakat umum yang ada disitu sebanyak sekitar 20 orang yang nyata sudah membuktikan ada peredaran tanpa ijin berbagai jenis kategori golongan G dan juga berbagai obat kadaluarsa yg membahayakan masyarakat,” tukasnya.(kl/kb)