Malaysia selalu saja cari gara-gara dengan Indonesia. Mungkin sudah ratusan tenaga kerja kita yang bekerja di sana yang disiksa majikannya. Lalu bikin ribut di Ambalat. Dan yang terbaru, kasus pemukulan empat polisi Diraja Malaysia terhadap Donald, seorang wasit Karateka Indonesia yang tengah bertugas di sana.
Setelah terjadi insiden tersebut, kecaman demi kecaman datang dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Ada yang mengecam ulah pemerintah Malaysia, ada pula yang mendesak agar pemerintah Indonesia bisa bersikap tegas terhadap Malaysia. Terlebih secara resmi Malaysia mengaku tidak akan meminta maaf pada Indonesia. Suatu sikap yang sama sekali meremehkan izzah negeri Muslim terbesar dunia ini.
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) yang tengah studi di Malaysia sudah mengirim surat kepada Wapres Jusuf Kalla dan pejabat Indonesia lainnya agar tidak datang ke Malaysia terkait peringatan hari kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus besok.
Jusuf Kalla, SBY, dan yang lainnya belum memberikan respon apa pun. Respon positif malah datang dari Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Walau belum ada yang meminta dirinya agar bersikap tegas kepada Malaysia, Hidayat telah melakukan sejumlah aksi yang cukup berani terhadap Malaysia.
Seusai syukuran hari jadi MPR ke-62 kemarin, Hidayat berkata, “Saya tidak mau hadir dalam acara makan siang bersama Menlu Malaysia. ” Sikapnya ini sebagai bentuk protes atas sikap Malaysia yang sungguh-sungguh menghina kita.
“Saya juga tidak mau datang atau menjadi bagian dari Kontingen Indonesia yang diundang dalam peringatan HUT kemerdekaan Malaysia besok, ” tegas Hidayat. Jika SBY dan JK mau hadir? Hidayat menyatakan hal itu terserah pada SBY-JK. “Asal mereka bisa menyelesaikannya dengan penuh martabat, ” ujarnya.
Sikap SBY-JK dalam hal Malaysia sangat menyedihkan kita semua. Kita tentu ingat bagaimana seorang perempuan bernama Macapagal Aroyyo, Presiden Filipina, berani bertindak tegas saat seorang—seorang—tenaga kerja wanita Filipina ingin dieksekusi mati di Timur Tengah. Saat itu Aroyyo mengancam akan memutuskan hubungan diplomatik dengan negara Timur Tengah tersebut jika eksekusi akan tetap dilaksanakan. Walau seorang perempuan, Aroyyo ternyata bisa menjadi “seorang lelaki” yang penuh ketegasan dan keberanian.
Indonesia jelas tidak butuh pemimpin banci. Indonesia juga jelas tidak butuh pemimpin pesolek, yang hanya bisa jaga imej, cengar-cengir ke sana-kemari tapi tidak punya nyali. Indonesia butuh para pemimpin yang bisa mengangkat harga diri bangsa ini di dunia internasional, para pemimpin yang bisa menjaga izzah, kehormatan dan harga diri. Sanggupkah SBY-JK “menjadi seorang lelaki” walau sehari saja? (Rizki)